Ekspresi cih apa sih? |
Eva Riyanty Lubis
Malam-malamnya mendadak menyeramkan.
Embusan angin yang biasanya dia cintai tak mampu lagi membuatnya tenang.
Apalagi kerlap-kerlip bintang di langit. Baginya, mereka seolah tersenyum sinis.
Tak ada teman. Satu-persatu menjauhinya. Entahlah. Dia yang menjauh, atau dia
yang dijauhi.
Dinda telah berubah. Tidak lagi
riang. Tidak ada tawa bahagia. Senyum simpulnya padam seketika. Tubuh mungilnya
pun mendadak semakin mengecil. Seolah bumilah yang membuat dia seperti ini.
Matanya menebar ketakutan. Harapannya pupus satu persatu.
*
“Kau benaran suka pada lelaki itu?” tanya
Siti dengan kening berkerut. Malam itu mereka tengah duduk berdua di balai
taman kota sembari menyeruput minuman kalengnya masing-masing.
Dinda menyipitkan mata seraya berujar, “Ada yang salah?”
“Nda, aku nggak habis pikir deh.
Sudah empat tahun kita merantau di kota Medan ini. Ada banyak lelaki yang suka
dan mendekatimu. Sebahagian dari mereka aku kenal dengan baik. Masalahnya,
kenapa sekarang kamu bisa suka dengan lelaki yang baru kau kenal? Dua hari,
Dinda!”
Dinda tertawa kecil. Sudah menduga
kalimat yang akan keluar dari bibir Siti, sahabatnya itu.
“Siti, cinta itu bisa datang kapan
saja, di mana saja dan pada siapa saja,” kata Dinda diplomatis.
“Jiah! Sejak kapan kau percaya
dengan kalimat murahan itu?” Siti geleng-geleng kepala tidak percaya. “Dari
awal aku kurang setuju dengan hobby travelling-mu itu. Masa capek-capek
kerja dari Senin sampai Jum’at, Sabtu sama Minggunya selalu kau habiskan dengan
jalan-jalan?”
“Aduhhh Sitiiii…. Stop deh! Jangan kaya emakku. Aku itu
suka jalan-jalan. Dan kamu juga tahu kalau salah satu impian terbesarku adalah
keliling Indonesia. Aku ingin menikmati keindahan alam yang diberikan Sang
Pencipta ini.”
“Oke-oke. Aku terima. Kembali ke
topik utama. Aku nggak setuju kalau kamu suka sama lelaki itu. Siapa namanya?”
“Karno,” tegas Dinda cepat.
“Whatever-lah!
Pokoknya aku nggak setuju. Tampangnya aja tua gitu. Jangan-jangan udah punya
bini. Ihhhh seraaaam!”
Dinda memang sudah menunjukkan foto
Karno kepada Siti. Waktu itu Dinda pergi ke Gunung Simeru. Di sanalah dia
bertemu dengan Karno. Orang Jawa yang sedari kecil tinggal di Bali.
Sesungguhnya tidak ada yang begitu istimewa dari Karno. Tubuhnya tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu pendek. Badannya tidak gemuk dan tidak juga kurus.
Kulitnya sawo matang. Pas bertemu Dinda, cambangnya malah sedang awut-awutnya.
Wajahnya pun benar-benar khas Asia.
Jadi, apa yang membuat Dinda jatuh
cinta pada pandangan pertama kepada lelaki itu?
“Haduh, Siti. Seharusnya kamu ngasih
support kepadaku. Bukan malah
berpikiran negative seperti ini.”
Hari-hari Dinda semakin berwarna.
Karena ada Karno disisinya. Meski mereka hanya bisa berhubungan jarak jauh, dia
memberikan harapan besar pada hubungan itu.
*
Dinda tengah terserang dingin
teramat akut kala Karno menemukannya. Lelaki bercambang itu menutupi tubuh
Dinda dengan jaket tebal miliknya. Dinda telah kehilangan tenaga. Namun dia
masih sanggup untuk memandangi sang penolong.
Tanpa banyak bicara, Karno memapah
Dinda untuk masuk ke dalam tendanya. Sedang tenda milik Dinda bermasalah
sehingga tidak bisa didirikan. Waktu itu, Dinda hanya seorang diri ke gunung
Simeru. Dia memang terbiasa sendiri. Menurutnya solo traveller tidak selamanya seorang diri. Sebab dia pasti akan
menemukan banyak orang selama perjalanan. Namun untuk perjalanan kali ini,
seharusnya dia memang tidak seorang diri.
Karno memberikan air hangat kepada
Dinda. Dinda meneguk sebanyak yang dia butuhkan.
“Istirahatlah. Semua bakalan
baik-baik saja,” ucap Karno setengah berbisik.
Dan setelah itu, tiba-tiba saja
Dinda terlelap dalam mimpi indahnya.
Keesokan paginya, Dinda sudah
berhasil mendapatkan kembali tenaganya. Dia mencari sang penyelamat.
“Terima kasih,” kata Dinda tulus.
Karno pun membalas dengan senyuman
terbaiknya. “Tidak masalah. Kau sudah baikan?”
“Ya.”
“Bersyukurlah padaNya.”
Dinda kembali menganggukkan kepala.
“Kau seorang diri?” tanya Karno
kemudian.
“Tidak. Ada kau dan yang lainnya di
sini,” jawab Dinda sembari memandang orang-orang disekeliling mereka.
Karno terkekeh. “Aku tahu kalau kau
itu perempuan yang tangguh.”
“Aku tidak bilang seperti itu,” jawab
Dinda dengan rona merah yang tiba-tiba menjalari wajahnya.
“Kau selalu seorang diri?”
“Hmmm…. Lebih sering, iya.”
Karno menganggukkan kepala. “Sudah
kuduga. Oh ya, kau pasti lapar. Aku ada kue. Silahkan dimakan dulu. Perjalanan
masih panjang.” Karno menyodorkan dua bungkus roti kecil kepada Dinda. Dinda
pun menerimanya dengan senang hati.
“Alam ini sangat indah,” ucap Karno
sembari tidak melepaskan pandangan pada hamparan hijau di sekeliling mereka.
“Ya. Tidak ada yang lebih indah
selain menikmati keindahan alam hadiah dari Sang Pencipta ini.”
“Akan lebih baik kalau menikmatinya
dengan pasangan,” sahut Karno terkekeh.
“Hmm…. Aku kurang setuju,” jawab
Dinda tegas.
“Apalagi perempuan seperti kamu.
Kejadian tadi malam sudah sangat fatal. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu
sedangkan kamu hanya seorang diri ke sini?”
Dinda terdiam. Memang selama ini dia
tidak begitu merasa bermasalah bepergian seorang diri. Namun yang dialaminya
kemarin malam benar-benar di luar perkiraannya.
“Oh ya, aku Karno.”
“Din… Dinda,” jawab Dinda gelagapan.
*
Setelah itu, Dinda memutuskan untuk
jatuh cinta kepada Karno. Tanpa pertimbangan apapun. Yang dia tahu, Karno telah
berhasil menyentuh hatinya yang terdalam dengan waktu yang sangat singkat. Ya, Karno
berhasil membuka hati Dinda yang telah terkunci sekian lama.
*
“Kamu pacaran dengan lelaki yang tidak
jelas!” gusar ibunya Dinda kala Dinda pulang ke kampung halamannya, Semarang.
“Siapa bilang tidak jelas sih, Bu?”
“Kalau jelas, dia seharusnya datang
ke rumah kita. Memperkenalkan diri pada Ibu, Bapak dan saudara-saudaramu!”
“Dia lagi sibuk, Bu!” jawab Dinda
tidak ingin Karno disalahkan.
“Pokoknya Ibu ingin kamu segera
menikah! Ingat usiamu, Dinda!”
Dinda memang anak tertua. Dia
memiliki lima orang adik yang rata-rata kesemuanya masih bersekolah.
“Bu, Dinda belum ingin menikah.
Dinda masih harus bekerja. Ibu yang sabar dong! Lagian zaman sekarang ini
menikah muda lebih banyak efek negative-nya.
Ibu nggak lihat di tivi banyak kasus perceraian karena menikah muda?” tanya
Dinda tak ingin disalahkan.
“Kamu tidak muda lagi, Nda! 27
tahun! Sebaiknya kamu berhenti merantau dari Medan dan pulang ke sini. Nikah
dan jadi ibu yang baik. Toh selama merantau uangmu selalu kamu hamburkan dengan
jalan-jalan nggak jelas itu.”
*
Pertemuan kedua Dinda dengan Karno.
Dinda berkunjung ke Bali sesuai keinginan lelaki yang telah menjadi kekasihnya
itu. Seharian mereka habiskan dengan berjalan-jalan ke sana kemari. Melepaskan
rindu yang telah menggunung.
Malamnya, tanpa pikir panjang, Dinda
menyerahkan diri seutuhnya kepada lelaki itu.
*
Karno menghilang. Dinda sudah menelusuri
jejak lelaki itu. Namun dia tetap tidak menemukannya. Perasaannya hancur lebur
seketika. Sedangkan janin di dalam kandungannya kian hari kian membesar.
Ketika usia kehamilan Dinda memasuki
enam bulan, dia menemukan fakta menyakitkan. Karno sudah memiliki istri. Namun
selingkuhannya bertebaran di mana-mana. Dinda meminta pertanggungjawaban,
sayang permintaannya ditolak oleh Karno. Hati Dinda remuk. Apalagi tidak ada
lagi orang yang ada di saat dia kesusahan seperti ini.
Semua menjauh. Memandang rendah kepadanya. Seolah dia
kotoran paling menjijikkan di atas bumi.
Dia tak lagi ingin apa-apa dari
bumi. Dia ingin ditelan. Tenggelam bersama asa. Karena menurutnya, itulah yang
terbaik baginya saat ini.
Lalu Tuhan menjawab pinta Dinda.
Ketika proses persalinan Dinda selesai, dia pergi menghadap Yang Maha Kuasa.
Sedang bayi perempuannya menangis hebat sepanjang malam.
Terbit di Majalah Purakasastra Edisi 6.
Februari 2016.
No comments:
Post a Comment