Cerpen Eva
Riyanty Lubis, dimuat pada Harian Medan
Bisnis rubrik Karya Belia.
Minggu, 03 Juni 2012.
***
Sumber: https://pixabay.com/en/italy-venice-gondolas-invitation-3367960/ |
“Tiga tahun lagi. Setelah kau dan aku telah menjadi
sarjana, kita bertemu di tepi sungai Venesia.“
“Haruskan
aku yang datang menghampirimu? Bagaimana kalau kita bertemu di Indonesia
saja? Kampung halaman kita? Atau kamu yang
datang menghampiriku?”
“Aku
bekerja sambil kuliah. Tidak bisa cuti. Harusnya kamu tahu itu.“
“Ok. Aku
mengerti. Aku akan datang.“
Itu
ucapannya padaku. Alex, lelaki yang telah mencuri hatiku sejak SMA. Aku bahkan
mencintainya lebih dari apapun. Tamat SMA, kami harus berpisah. Aku ke
Australia, sedangkan dia ke Italia. Tetapi hal itu tidak memudarkan
cintaku padanya. Malah menurutku semakin luar biasa.
***
Aku begitu bahagia tatkala tiba di
tempat yang kami janjikan tiga tahun lalu. Aku membalikkan badan untuk
memandang sungai yang dipenuhi perahu gondola. Tampaknya begitu banyak pasangan
yang naik perahu tersebut. Mereka kelihatan bahagia. Ada rasa cemburu dalam
hatiku. Tetapi segera kutepis. Sebab aku yakin, beberapa menit lagi aku juga
akan merasaka hal yang sama. Pipiku memanas tatkala membayangkannya.
Sejam. Dua jam. Tiga jam. Hingga malam pun menjelang,
Alex tak jua muncul. Sudah puluhan sms yang kuberi padanya, tetapi tak ada
satupun yang dibalas. Ku telepon, malah tidak diangkat. Aku benar-benar kesal.
Beberapa menit kemudian air hangat telah mengalir dengan pelan dari pelupuk
mataku.
“Ciao,
Nessuno che mi
può aiutare?[1]” seseorang menepuk pundakku. Aku
menatapnya dengan perasaan tidak menentu. Antara kesal dan lega. Kesal karena
bukan Alex yang datang. Dan lega ternyata masih ada orang yang menghampiriku.
Sebab tempat ini mulai tampak sepi.
“Perché[2]?” dia tampak khawatir. Kelihatan dari
sorot matanya. Aku menggeleng. Sejujurnya aku tidak bisa berbahasa Italia.
“English, please!” ucapku pelan. Akhirnya
keluar juga kalimat dari mulutku.
“Ok. Apa
yang Nona lakukan di sini? Hari sudah malam. Tidak baik sendirian.”
Bukannya
menjawab, tangisanku malah semakin pecah. Dia tampak kebingungan. Beberapa
menit kamudian aku sudah berada dalam pelukannya.
“Aku
tidak tahu kenapa kamu menangis. Tetapi kamu lebih baik menangis dipelukanku
dari pada menangis sendirian di pinggir sungai ini. Aku tidak mau orang
berpikir macam-macam tentangmu.”
Aku
kaget. Tetapi entah kenapa perlakuannya kepadaku membuatku merasa nyaman. Aku
bahkan betah berlama-lama di sana. Sampai bayangan wajah Alex muncul, barulah
aku tersadar dan seketika menarik diriku. Kuseka sisa air mata yang masih
menempel.
“Apakah
kamu sudah merasa lebih baik?”
Aku
mengangguk. Kuberi dia senyuman walau aku yakin dia pasti tahu kalau senyumku
itu merupakan senyum terpaksa.
Dia
balas tersenyum. Senyumnya begitu indah. Membuatku terpesona. Padahal ini tidak
pernah terjadi sebelumnya kecuali kepada Alex.
“Mari,
aku akan membawamu ke suatu tempat.” Dia mengamit lenganku tanpa menunggu
persetujuan dariku.
Ternyata,
dia membawaku berkeliling Venesia. Terasa lelah karena kami berjalan kaki,
namun aku sangat menikmati. Sebab semuanya terbayar dengan keindahan kota
Venesia yang begitu menakjubkan. Dia bak guide,
menjelaskan setiap inci kota
tersebut.
Lampu temaram menyinari kubah-kubah gereja dan berbagai
bangunan kuno sampai jembatan. Keriangan
canda tawa dan alunan musik klasik datang dari berbagai kedai yang berjajar
sepanjang tepi kanal. Sebuah atmosfer sempurna untuk menggambarkan Venesia di
suatu malam musim panas.
Harusnya
Alex yang berada di sisiku saat ini. Berdua menikmati kota romantis. Tetapi
entah mengapa, aku juga tidak merasa kecewa dengan kehadiran lelaki misterius
itu. Setelah kuamati lebih jauh, ternyata perawakannya tidak jauh beda dengan
Alex. Mukanya mirip dengan Kim Hyun Joon. Aktor Korea kesukaanku. Dan sudah
kupastikan lelaki misterius itu juga berasal dari Korea.
“Apa
kamu sudah capek?”
Aku
menggeleng.
“Hebat,
hampir sejam berjalan kaki kamu tetap kuat.” Dia tertawa kecil.
“Aku
bukan wanita manja.”
“Ya, aku
tahu.” Masih dengan tawa kecilnya.
“Aku
ingin mengajakmu naik perahu gondala. Bagaimana?”
Aku
tersenyum lebar dan secepatnya menangguk.
Kini
kami telah berada di atas perahu gondala. Benar-benar romantis. Apalagi kami
hanya berdua. Suasana malam dengan lampu temaram di sepanjang sungai membuatku
merasa sangat beruntung bisa berada di sini.
“Siapa
namamu?”
“Bella.”
Aku menjawab tanpa memandang ke arahnya. Pikiranku benar-benar terhipnotis
dengan keindahan alam di sekitarku.
“Untuk
apa kamu kemari?”
“Bertemu
dengan kekasihku. Tetapi dia tidak kunjung...” belum sempat aku melanjutkan
perkataanku, sosok Alex yang telah membuatku kecewa kembali merasuki pikiranku.
“Ok. Aku
mengerti. Jadi, apa kamu masih mencintainya?”
“Cintaku
tidak akan pernah luntur. Kamu tahu, aku sangat mencintainya.” Aku mulai
terisak.
“Hellow,
aku tidak ingin kamu bersedih. Ayolah Nona imut, bersenang-senang denganku.”
Aku bisa melihat lesung pipinya dengan jelas walau dengan lampu yang temaram.
Hal itu yang membuatku kembali tersenyum.
“Loh,
ada yang lucu?”
“Kamu.
Siapa namamu?”
“Kim Gu.
Aku dari Korea.”
“Aku
tahu kamu dari Korea.” Aku tersenyum. Dia memicingkan matanya.
“Parasmu
tidak bisa menipu.” Aku mengedipkan mataku yang dibalas dengan tawa kecilnya.
“Aku
selalu berharap bisa menaiki perahu gondala dengan Alex. Itu pasti sangat
romantis.” Aku bergumam pelan.
“Tidak
cukupkah aku di sampingmu?”
“Kamu
bukan Alex. Walau dia tidak pernah perhatian denganku, tidak pernah memujiku,
tidak pernah perlakukan aku dengan romantis, aku tetap mencintainya. Aku tidak
bisa melupakannya.”
“Kamu
yakin dia mencintaimu? Kalian tinggal di tempat yang berbeda bukan?”
Aku
mendesah, panjang.
“Kami
dijodohkan. Aku menerimanya. Aku langsung tertarik begitu aku berjumpa
dengannya. Aku tidak tahu dia mencintaiku atau tidak. Dia tidak pernah
menyatakannya. Tetapi dia tidak menolak perjodohan itu. Makanya aku berharap
banyak padanya. Tamat SMA kami kuliah di tempat yang berbeda. Meski begitu, aku
selalu menghubunginya.”
“Mungkin
kamu benar. Dia tidak pernah mencintaiku. Tidak pernah ada tanda-tanda dia
menyukaiku. Tapi harusnya dia tidak boleh memberiku harapan kalau dia tidak
menyukaiku,” aku menambahkan.
“Lalu
apa tujuanmu ke sini?”
“Dia
ingin mengatakan sesuatu. Di tepi sungai Venesia. Tapi yang ada malah kamu di
sini,”
“Aku
menyukaimu, Bella. “
Aliran
darahku seakan berhenti. Jantungku berdetak tidak menentu. Kurasakan kalau
wajahku telah memerah. Beberapa menit kemudian, sebuah kecupan hangat mendarat
di keningku. Rasanya begitu indah. Jujur, aku menikmatinya. Hal yang tidak
pernah kurasakan sebelumnya.
“Kim...”
aku menatapnya dengan perasaan tidak menentu. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke
handphoneku. Dari Lisa. Bibiku.
“Bella, Alex telah menikah dengan gadis
Korea tahun lalu. Dia lelaki bejat. Lupakan dia. Pulanglah....”
Handphone
jatuh dari genggamanku. Kulihat Kim memungutnya. Aku juga tahu kalau dia
membaca isi pesan tersebut.
PLAKKKK....
Sebuah tamparan hangat kudaratkan pada wajah mulusnya.
No comments:
Post a Comment