Cerpen Eva Riyanty Lubis, dimuat pada Tabloid Gaul edisi 23 Tahun XI, 11 - 17
Juni 2012.
***
Sumber: https://pixabay.com/en/time-fantasy-dark-gothic-woman-3393818/ |
Namaku Lucky Lubis. Singkat jelas dan padat bukan? Aku
juga terkadanng dongkol dengan namaku ini. Pertama, nama Lucky biasanya dipakai
oleh laki-laki. So, I
am a girl! Kedua, tidak ada embel-embel lain di belakang nama Lucky. Simple bukan? Kalau Lubis, itu margaku. Ayah turunan Batak
Mandailing yang sedari remaja sudah merantau ke Jakarta. Sedang ibuku asli
Betawi. Dalam Batak, anak akan mewarisi marga ayahnya. So, inilah namaku sekarang.
Sempat
kesal karena kebanyakan orang yang belum pernah mengenali wajahku pasti merasa
kalau aku ini laki-laki. Huft. Dasar ayah dan ibuku pelitnya minta ampun ngasih
nama. Entah dapat wangsit apa mereka dulu pas menamaiku.
“Pa, Ma,
Lucky ganti nama dong,” ucapku suatu kali ketika kami tengah makan malam
bersama. Mereka berdua menatapku sambil mengernyitkan kening.
“Lucky
sering diejek di sekolah. Capek tau, Ma,” Aku menatap mereka penuh harap.
“Please ya, Ma, Pa. Kita potong kambing
buat ganti nama Lucky. Mau ya?” Kupasang muka
memelas.
“Tidaaaaaaaaaak!!!”
jawab mereka serentak. Gila, ini orang tua kompak banget ngucapinnya. Mana
suaranya kencang.
“Jangan
teriak-teriak dong. Kalau Papa nggak masalah. Wajar orang Batak. Nah, ini Mama
ikut-ikutan juga. Kuping Lucky sakit tau!” Aku ngedumel. Tapi mereka tidak
menggubrisku sama sekali. Aku menatap mereka bete kemudian beranjak menuju kamar. Tempat setia yang selalu
menampung keluh kesahku. Tanpa kusadari, sebenarnya mereka terkikik dengan
tingkah lakuku tadi.
*
Aku
berjalan menuju ruang kelasku yang terletak paling sudut di sekolah ini. Dan
seperti biasa, mereka selalu tidak pernah bosan mengatakan kalimat yang itu-itu
saja. Bikin mata dan otakku gerah. Grrrrhhh....
“Lucky.... Lucky.... Foto bareng yuk!” Ini
suara si Mey Mey. Ratu gossip SMA Merah Putih.
“Lucky
Sayang, udah sarapan belum? Cinta masak rendang kesukaanmu lho.” Cewek manis
itu mengerlingkan matanya ke arahku. Uhh…. Ini kakak kelasku yang erornya minta
ampun. Emang dia pikir aku lesbong apa?
“Lucky, aku daftar jadi asistenmu dong. Ngelap keringat
juga nggak apa-apa. Boleh ya?”
“Malam minggu nanti jalan bareng Dina ya, Ky....”
“Ky, nanti temani aku ke mall dong. Aku traktir apa aja
yang kamu mau.”
Aku menatap mereka satu persatu dengan tatapan tajam.
“Kalian ribut banget sih! Nyebelin! Pagi-pagi udah buat moodku rusak. Minggir semua!”
Kalimatku berhasil membuat mereka menjauh hingga akhirnya
aku bisa dengan leluasa melangkah ke dalam kelas.
Icha, teman sebangku sekaligus sahabatku sudah
menunjukkan senyum simpul ke arahku.
“Kenapa senyum-senyum? Senang ngeliat aku menderita?” Aku
menatap gadis gembul itu dengan tampang kesal.
“Salah sendiri. Harusnya kita barengan tadi datangnya.
Kan bisa kuhajar mereka,” ucapnya dengan semangat empat lima.
“Sorry, tadi agak telat bangun.”
“Ya
rasain tuh akibatnya. Hehe….” Dia terkikik
menatap wajahku yang setengah ditekuk.
Oh ya, aku seorang vokalis band remaja yang sedang naik
daun di Jakarta. Kala itu nggak
sengaja aku sering ngunggah video nyanyiku di you tube. Dan ini nih akibatnya. Banyak cewek yang selalu datang
menyerbuku. Yapz, cewek! Karena dandananku tak jauh beda dengan cowok. Aku
kurus, tinggi, dan dada lumayan rata. Sebenarnya sedikit menyedihkan. But, it’s me!
Ditambah lagi dengan namaku yang beraroma cowok. Komplit deh! Sebahagian fansku malah tak percaya kalau
sebenarnya aku ini cewek. Meski rambutku panjang lho. Uh....
“Kalau
begini terus kapan aku punya cowok? Kapan aku bisa beruntung seberuntung
namaku?” jeritku dalam hati.
*
“Lucky,
kamu sudah siap dengan lagu barumu?” tanya Pak Chogah. Manager band kami.
Aku
mengangguk. Ini kali pertama aku menyanyikan lagu sendu, malah ciptaanku
sendiri. Sebelumnya aku selalu membawakan lagu yang temponya sangat cepat.
Balai Sarbini dipadati penonton.
Yap, kali ini kami sedang launching album
kedua kami yang berjudul “Lucky Girl”. Hampir keseluruhan lagunya mengisahkan
tentang wanita.
Everytime I try to fly I fall
Without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
Your in my dreams
I see your face
Its haunting me
I guess I need you baby[1]
Without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
Your in my dreams
I see your face
Its haunting me
I guess I need you baby[1]
Seluruh
penonton turut bernyanyi bersamaku. Dan beberapa di antara mereka meluruhkan air mata karena
laguku ini. Inilah saat-saat mendebarkan yang kurasakan tatkala aku menyanyi di
depan banyak orang. Sebab terkadang aku masih takut apa laguku tersampaikan
kepada mereka.
*
“Sukses! Kalian hebat.” Pak Chogah menyalami kami setelah
selesai melakukan pertunjukan di atas panggung.
“Kamu
luar biasa, Lucky. Sempurna!” Pak Chogah semringah tatkala menyalamiku.
“Bapak
berlabihan,” ucapku pendek.
“Oh ya, ada kejutan buatmu.
Kamu diajak kerja sama dengan Daniel Alfian. Cowok remaja yang usianya sama denganmu dan dia
juga terkenal lewat you tube. Asal
Francis itu lho. Kamu pasti sudah tau itu. Pokoknya persiapkan dirimu. Lusa
kalian bertemu di studio rekaman kita.”
Aku melongo. Daniel Alfian,
cowok yang akhir-akhir ini menjadi pencarian nomor satu di dunia maya hendak
bekerja sama denganku. Mimpi apa aku semalam? Dengar-dengar tak lama lagi dia
akan terkenal seperti Justin Biebier. Suaranya yang merdu juga disebut sebagai
suara malaikat. Meski tak seorang pun yang tahu suara malaikat itu seperti apa.
*
“Lucky, Daniel Alfian akan datang ke Jakarta. Please minta tanda tangannya sama aku. Please!” Icha memandangku penuh harap.
“Ih, biasa aja kali. Emang
apa spesialnya dia? Gantengan juga Justin,” Jawabanku membuat gadis gembul itu
mewek.
“Iya, iya. Nanti
aku mintain tanda tangannya. Sekalian fotonya bila perlu. Lagian udah punya
cowok kok masih idolain cowok lain sih?” tanyaku ngedumel.
“Cemburu
ya?” Icha akhirnya kembali kesifat asalnya. Tawa renyahnya mulai tampak dan
kini ia sedang menertawanku.
“Makanya
cari cowok dong, Ky!” katanya sembari kembali terkikik.
Uhhhh…. Dasar Icha! Dia nggak tahu apa nggak
nyadar sih kalau aku sebenarnya lebih tampan dari cowok?
*
“My name is Daniel,”
Cowok itu menyalamiku.
Omaigot. Dia jauh lebih tampan dari perkiraanku. Aura
kharismatiknya juga keluar. Membuatku sedikit menciut berada di sampingnya.
Dia pun
mengatakan kalau dia ingin bernyanyi bersama denganku. Lebih tepatnya duet.
Katanya dia sudah mengetahui suaraku sebelum aku benar-benar terjun di dunia entertainment.
“Kenapa
harus aku? Banyak yang suaranya lebih bagus dariku di luar sana,” tanyaku
tatkala tinggal kami berdua yang ada di ruangan itu.
Dia
tersenyum tipis. Namun menurutku sangat manis.
“I like you,” ucapnya
kemudian yang akhirnya berhasil membuat tampangku melongo setengah mati.
“You’re
face is so funny, Lucky,” katanya masih dengan senyum mengembang di sudut
bibirnya yang tipis.
“Ih,
kamu nyebelin deh! Udah-udah, jangan ngomong itu lagi.”
*
Malam itu Daniel Alfian membuka konsernya dengan sangat
fantastis. Karena aku akan menjadi rekan duetnya, maka aku bebas masuk ke
ruangan itu tanpa membayar tiket. Malah dapat kelas VIP.
“Selamat
malam Indonesia,” ucapnya fasih. Beberapa
orang memandanginya takjub. Pun demikian dengan aku.
“I must
say something to you. I love an Indonesian girl. Because her, I can stand up in
front of you. She is my star. Aku
pertama kali bernyanyi setelah mendengar suaranya di you tube. After
that,
aku mencari tahu keberadaannya. I also
study Indonesian language. And now, I
find her. Lucky, I love you more than
you know.”
Tepuk tangan membahana. Sorot lampu
seketika menyapaku sedang yang lainnya menjadi gelap. Aku langsung berdiri. Kaku. Dan cowok tampan itu kini
berjalan mendekatiku. Ya ampun. Apa dia tidak salah ucap? Please, someone sadarkan aku!
“I love you whatever you are. Aku
mencintaimu karena dirimu. Believe me,
please!” Tak ada kebohongan tampak di mata birunya. Parahnya, dia telah
berhasil membuatku menganggukkan kepala. Hingga kemudian dia membawaku ke dalam
pelukannya yang hangat. Penonton riuh. Ada yang bertepuk tangan, dan pasti ada
juga yang mencibir. Sedangkan aku harus mengendalikan detak jantungku yang
berpacu hebat, tak seperti biasanya.
*
“Lucky, setelah Mama pikirkan, memang seharusnya namamu
diubah. Luna, Emily atau Karina sepertinya bagus. Bagaimana, Pa?”
“Boleh,
Papa setuju. Lucky memang terkesan maskulin.”
“Tidaaaaaaaaaaaaaaak!!!”
Aku berteriak dan seketika mereka menutup kedua telinganya masing-masing.
“Jangan
teriak-teriak dong, Lucky!” omel ibu dengan kening berkerut.
“Turunan Papa, nggak apa-apa,” balas ayah yang seketika
melanjutkan suapan ke dalam mulutnya.
“Tak ada
seorang pun yang boleh ganti nama Lucky. Titik!!”
Mereka berdua terkikik mendengar pernyataanku.
“Ih Mama
lebay. Papa juga ketawa terus. Uh!” Aku melangkahkan kaki menuju kamar.
No comments:
Post a Comment