![]() |
~ Biarkan orang berkata apa ~ |
“Jangan
menengok ke belakang, kecuali Anda bermaksud menuju ke sana.”
Marck
Holm
Perkenalkan,
aku Eva dari Padangsidimpuan. Saat ini aku berusia 26 tahun. Itu artinya aku
tak lagi muda dan aku menyadari itu. Di usia seperti ini, sudah seharusnya aku
memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan lumayan. Ya, aku setuju dengan hal
itu. Namun, ketika orang-orang di sekitarku menyarankan agar aku kerja di
perusahaan, kantor, dan sebagainya, itulah yang membuatku tidak setuju. Mengapa
harus kerja pada orang kalau kita bisa mencari penghasilan sendiri?
Tahun 2010, ketika aku menyelesaikan
pendidikan SMA, aku sudah bekerja menjadi karyawan salah satu perusahaan swasta
di kota tempat tinggalku. Saat itu, gaji yang aku dapatkan lumayan banyak untuk
ukuran remaja berusia 18 tahun. Aku juga menikmati pekerjaanku. Setahun
kemudian, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah sambil bekerja. Tugas kuliah
yang semakin banyak membuatku harus menentukan pilihan. Kuliah atau kerja!
Dua-duanya sama penting buatku. Namun di tahun ketiga kuliah, aku memutuskan
untuk fokus pada pendidikan. Lantas bagaimana aku harus membiayai seluruh
kebutuhan hidupku?
Allah memang Maha Tahu. Sejak tahun
2012, hobi menulis yang kutekuni mulai membuahkan hasil. Awalnya menang lomba,
hingga akhirnya aku berhasil menerbitkan berbagai novel yang kutulis di
penerbit mayor. Tentu saja honornya lumayan besar. Jauh lebih besar dibanding
gaji yang kudapatkan ketika bekerja sebagai karyawan.
Lantas, aku memilih fokus kuliah
sembari tetap menulis. Biasanya menulis hanya sebagai hobi, namun kini hobi
tersebut harus bisa menghasilkan, minimal sebanyak gaji yang kudapatkan ketika
bekerja dulu.
Berakit-rakit
ke hulu
Berenang-renang
kemudian
Bersakit-sakit
dahulu
Bersenang-senang
kemudian
Tidak mudah mendapatkan penghasilan
dari menulis. Apalagi waktu itu aku pindah kampus ke Medan, tidak lagi di kota
tempat tinggalku. Itu artinya biaya yang kubutuhkan semakin banyak. Biaya kost,
transportasi, makan, uang kuliah, dan sebagainya. Pagi hingga sore, aku fokus
belajar. Lalu malamnya kembali menulis. Tidak ada waktu untuk berleha-leha.
Sebab aku harus berjuang untuk hidupku.
Hasil memang berbanding lurus dengan
pengorbanan dan perjuangan. Aku berhasil menyelesaikan kuliah dengan IPK
Cumlaude, bahkan salah satu terbaik di kampusku. Maha Besar Allah dengan segala
bantuan yang Ia berikan padaku.
Hidup tidak sampai di situ. Aku
kembali pulang ke kampung halaman dan memutuskan untuk tetap fokus pada bidang
kepenulisan. Saban hari, aku fokus dengan laptop. Kalau tidak perlu, aku tidak
keluar rumah. Jika orang kantoran bekerja 8 jam perhari, maka aku juga harus
bisa seperti itu. Awalnya tidak mudah. Butuh niat, disiplin, dan kerja keras.
Namanya penulis or freelancer,
penghasilan yang didapatkan tidak tetap setiap bulannya. Kadang dapat jutaan,
kadang malah ratusan ribu. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri apa yang
telah aku dapatkan hingga kini.
Namun, ada saja yang julid dan kepo
kepadaku.
“Kapan kerja? Kok di rumah melulu?”
“Sekolah tinggi-tinggi jatuhnya cuma
di rumah melulu. Tuh si A, teman SDmu dulu sudah kerja di bank.”
“Tamat SMA kamu diterima di
perusahaan swasta. Lah, ini cuma ngeram di rumah. Harusnya kamu malu dong, Va.
Adek-adekmu masih kecil. Butuh banyak biaya. Sebagai anak pertama kamu kudu
kerja dan dapat penghasilan banyak.”
Jangankan masyarakat tempat tinggalku.
Guru, dosen, bahkan saudara-saudaraku menyayangkan keputusanku yang menurut
mereka lebih memilih ‘ngeram’ di rumah. Ya Allah, pengen banget teriak kalau
aku di rumah juga cari duit. Bukan berleha-leha atau malas-malasan. Setiap aku
jelaskan kalau aku ini penulis, mereka tidak pernah mengerti.
“Kapan bisa kaya kamu kalau nulis?”
“Emangnya dapat berapa sih kalau
nulis buku?”
“Ngapain kuliah kalau ilmunya tidak
dipergunakan?”
“Kuliah mahal-mahal tapi tidak
membuahkan hasil.”
“Udah, nulisnya jadi hobi aja.
Mumpung kamu masih dua puluhan, masih ada kesempatan buat jatuhin lamaran
kerja.”
Seberapa keras aku berusaha untuk
ngejelasin, semakin sering mereka kepoin aku. Kadang aku mikir, mereka nggak
ada kerjaan lain, apa? Tapi kalau diambil pusing, jatuhnya malah stress. Entar
malah nggak bisa nulis. Nggak bisa dapat penghasilan. Jadi, seiring berjalannya
waktu, aku cuma kasih senyuman buat mereka yang bertanya kapan aku kerja.
Sayangnya hal itu tidak berhenti
sampai di situ. Mereka malah beralih pada emak. Bertanya mengapa putri
sulungnya dibiarkan menentukan hidup sesuka hati. Untungnya emak bukan tipe
beperan. Dengan santai emak menjawab,
“Zaman sekarang kerja nggak cuma di
kantor. Di rumah juga bisa dapat penghasilan. Lagian kasihan kalau dia kerja
kantoran kalau gajinya nggak seimbang dan dia nggak bisa mencintai
pekerjaannya. Sebagai orangtua, kita harus mendukung keputusan anak. Apalagi
yang saya lihat, anak saya benar-benar mencintai pekerjaannya. Masalah rezeki, sudah
diatur yang di Atas.”
Duuuhh emak, selalu terharu dengar
ucapan emak. Makasih sudah bela putrimu ini, mak. Emak merupakan single parent.
Bapak sudah pergi menghadapNya delapan tahun lalu. Itulah mengapa kami berjuang
semaksimal mungkin untuk keluarga kami. Kami memang bukan keluarga berada.
Namun kami punya harga diri. Kami tidak pernah meminta-minta. Seberapa pun
rezeki yang kami dapatkan, insyaAllah halal dan berkah.
So, guys, jangan terlalu
mudah nge-judge seseorang dalam bidang apapun, termasuk pekerjaan, ya.
Kita tidak pernah tahu sejauh apa perjuangannya dalam mencari pekerjaan,
ataupun sejauh apa proses yang telah ia lalui untuk itu.
“Pergilah
dengan keyakinan menuju cita-citamu. Jalanilah hidup yang kau bayangkan.”
Henry David Thoreau
Eva Riyanty Lubis
Barangkali ditulis beberapa bulan lalu ~
0 Comments