pixabay.com |
Dimuat pada Harian Analisa Rubrik Rebana. Minggu, 22 Juni 2014.
Eva Riyanty Lubis
Aku seorang istri yang kehidupannya begitu
bahagia. Memiliki suami yang sangat mencintaiku dan dua orang putri yang
melengkapi kebahagiaan kami. Kami memang bukan keluarga yang kaya raya, namun
dengan suamiku bisa mencukupi kebutuhan keluarga kami, itu sudah lebih dari
cukup. Suamiku seorang pedagang kelontong. Sedang aku disibuki dengan pekerjaan
rumah tangga yang tidak pernah selesai. Selain itu aku selalu mengikuti
perkembangan para putriku dengan seksama. Aku ingin memastikan kalau mereka
tidak kekurangan kasih sayang dan pengajaran.
Kami tinggal di sebuah perkampungan
kecil, yang artinya banyak hal yang harus aku ajarkan pada putriku sebab
keterbatasan sarana dan prasarana di kampung ini. Kampung suamiku. Aku tidak
mengeluh atas semua ini sebab ketika aku memutuskan untuk menikah dengannya,
aku harus siap untuk ikut kemana pun dia bawa.
Masih lekat diingatanku bagaimana
pertemuanku dengan Bang Hotman. Waktu itu aku masih duduk di bangku universitas
semester satu. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat dia
berjualan di pasar tradisional kota kami, Padangsidimpuan. Parasnya yang sangat
rupawan dipadukan dengan tubuh yang sempurna. Aku yakin dengan penampilannya
yang diatas rata-rata, harusnya dia bisa bekerja lebih layak. Maksudku selain
berjualan ikan di pasar. Namun setelah aku selidiki lebih jauh, ternyata dia
berasal dari daerah yang lumayan jauh dari kotaku. Dia merantau demi mengubah
nasib. Dan kuketahui pula kalau dia hanya seorang lulusan SD.
Rasaku tidak berubah meski tahu dia
hanya lulusan SD. Sebab kala aku memutuskan untuk mendekati dan berbicara
dengannya, cara bicara dan pandangan hidupnya sangatlah dewasa. Rasa cintaku
pun semakin dalam padanya.
Kami mencoba untuk saling mengenal
satu sama lain. Tidak butuh waktu lama ketika dia memutuskan untuk melamarku
pada ibu. Satu-satunya orang tuaku kala itu. Ibu, kakak dan abangku menyambut
baik berita itu. Sebab di mata mereka Bang Hotman adalah seorang lelaki yang
bertanggung jawab. Dan karena masa itu keuangan keluargaku juga sangat
morat-morit, terpaksa aku berhenti kuliah. Setelah itu kami menikah dan aku
diboyong ke kampungnya, Pinarik.
Aku bangga bisa menjadi bagian dari
diri Bang Hotman. Satu-satunya lelaki yang mengisi hatiku hingga kini usia
pernikahan kami memasuki dua belas tahun. Namun rasa bahagia itu perlahan sirna
sejak suamiku pergi menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa karena serangan jantung
mendadak. Penyakit yang bahkan aku sendiri tidak tahu kapan menyerang tubuh
suamiku. Rasa sakit pun kurasakan kala kakak-kakak iparku mulai menunjukkan
rasa tidak suka padaku dan putriku. Kata mereka, aku hanya seorang istri yang
tidak tahu diri yang tidak bisa apa-apa. Hatiku benar-benar hancur. Mereka yang
kukira baik ternyata bermuka dua. Mereka baik hanya waktu ada suami di
sampingku. Lalu kuputuskan untuk kembali ke kota asalku.
Lima tahun yang lalu, ibuku juga
telah menghadap Yang Maha Kuasa. Sedang saudara-saudaraku sudah merantau ke
luar kota. Ada yang ke Medan, Batam, Bandung, bahkan Sulawesi dengan
keluarganya masing-masing. Kami memang keluarga besar. Tujuh bersaudara dan aku
anak ke enam, namun tidak ada yang memutuskan untuk tinggal di Padangsidimpuan
sejak ibu tiada.
Tidak ada rumah peninggalan orang tua sebab
keluargaku sejak dulu tidak sanggup untuk membeli rumah.
Perlahan, kota tempatku dilahirkan seperti sebuah
tempat yang mencekam bagiku. Aku gamang, selalu berpikir apakah aku bisa
menjadi ibu sekaligus ayah untuk putri-putriku?
Pixabay.com |
Sibujing, nama tempat aku dan
putriku tinggal. Kami mengontrak rumah dengan sisa uang peninggalan almarhum
suamiku. Harganya jauh lebih murah dibanding tempat lain yang telah kutanyai. Tempat
yang tidak jauh berbeda dengan kampung suamiku. Orang-orangnya lebih banyak
menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Pagi hari, aku pasti
mendapati ibu-ibu sudah duduk sambil bergunjing ria di rumah tetangganya. Ah,
kalau saja aku memiliki uang lebih banyak, pasti aku memilih tempat yang lebih
nyaman untuk kami. Seorang perjaka
tua yang merupakan tetanggaku sering duduk di depan rumah kami. Dia sangat
menyukai putri-putriku. Sama seperti putri-putriku yang menyukainya. Kadang dia
membelikan putri-putriku makanan dan peralatan sekolah. Awalnya aku merasa risih,
takut ada niat jahat darinya. Namun lama-kelamaan aku menjadi terbiasa. Sebab
dia tidak pernah menunjukkan gelagat tidak baik pada kami.
“Sri, ada baiknya kamu jualan di
rumah ini. Bagaimana kamu akan mencukupi kebutuhanmu kalau kau tidak bekerja?
Kalau hanya jualan di rumah, kau tetap bisa mengurus rumah dan anak-anakmu.” Ucap
Bang Husin suatu hari. Aku memang sudah menceritakan perihal keluargaku
padanya. Dan ucapannya terus terngiang-ngiang di telingaku. Memang aku sudah
memikirkan tentang pekerjaan sejak urusan perpindahan sekolah putriku selesai. Namun
sebelumnya tidak ada niat sedikitpun dibenakku untuk berjualan.
Tak butuh waktu lama, aku pun
membuka warung di depan rumah kontrakan kami. Syukur saja halamannya masih luas
dan bisa didirikan warung kelontong. Aku sadar kalau aku tidak memiliki keahlian
lain sebab sejak aku hidup, tidak pernah sekalipun aku bekerja. Dulu hanya
sesekali aku membantu suamiku berjualan.
Tuhan memang adil. Aku yang hanya
seorang pendatang dari kampung bisa diterima di tempat tinggal baruku. Jualanku
pun mulai laris. Namun satu hal yang harus aku sadari. Setiap ada kebahagian,
pasti akan dibarengi dengan kesedihan.
Tetanggaku yang hanya berjarak dua
rumah dariku membuka warung dengan jualan yang sama sepertiku. Bahkan jualannya
jauh lebih banyak. Tentu saja rasa sedih, gusar dan kecewa bersarang di hatiku.
Apalagi aku sudah menganggap dia sebagai kakakku di kota ini.
“Hakku kalau aku mau berjualan yang
sama denganmu. Lagian rumah-rumahku kok. Jadi kau nggak usah sewot.” Ucapnya
suatu hari padahal aku tidak mengucapkan apa-apa padanya.
Rezeki orang memang berbeda. Namun
dengan dia berjualan yang sama denganku, sudah bisa dipastikan pendapatanku
berkurang drastis. Aku hanya bisa mengurut dada. Dalam benakku, bila aku sudah
memiliki uang lebih, aku akan membawa anakku untuk pindah dari tempat ini.
Apalagi tempat ini sudah terkenal
dengan orang-orangnya yang berperilaku buruk. Narkoba, judi, minuman keras,
sudah tidak asing lagi didengar. Bahkan akhir-akhir ini aku mendengar
desas-desus kalau banyak gadis yang menikah muda di sini lantaran sudah hamil
duluan. Ya Tuhan, ini benar-benar mengerikan.
Satu hal yang harus aku pahami,
orang-orang tampaknya membuat semua itu menjadi sesuatu yang wajar. Tidak perlu
dilebih-lebihkan. Namun jika pendatang baru membuat kesalahan di tempat ini,
pastilah akan segera mendapat hukuman. Sangat tidak adil!
“Sri, apa kamu masih berniat untuk
menikah?” Tanya Bang Husin suatu hari.
Aku terkekeh. Dia orang pertama yang
menanyakan hal itu padaku sejak aku mendapat gelar janda. “Untuk saat ini belum,
Bang. Abang sendiri? Aku dengar-dengar dari tetangga Abang belum pernah
menikah.”
“Menemukan orang yang pas untuk
mendampingi hidup itu tidak mudah, Sri.”
“Abang punya pekerjaan menjanjikan
dan juga punya uang banyak.” Sahutku. Bang Husin seorang pegawai bank swasta di
kota ini. Namun dia sudah sering dipindah tugaskan. Jadi hidupnya selalu
berpindah-pindah. Dia tidak terlalu bercampur baur dengan orang-orang sini.
Namun bila ada kemalangan atau pesta pernikahan dan lainnya, dia pasti ikut
berpartisipasi.
“Tidak menjamin, Sri.”
“Apanya yang tidak menjamin, Bang?
Aku pikir Abang cukup bertanggung jawab untuk menjadi seorang suami.”
“Kata siapa, Sri?”
“Kataku, kata putri-putriku.”
Sahutku dengan seutas senyuman.
Bang Husin tersenyum. Sebuah senyuman
hangat. Tampak dia menjalani hidup dengan penuh syukur dan suka cita.
“Kalau kamu mau, mungkin kita bisa
me…”
Belum sempat Bang Husin
menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba banyak orang datang ke rumahku. Pak RT, Pak
Lurah, Pak Kepala Lingkungan, tetangga depan rumah baik yang perempuan dan
laki-laki bahkan yang tidak kukenal sekalipun. Beberapa muda-mudi yang sering
nongkrong di warungku juga ikut ambil bagian. Wajah mereka terlihat bengis.
Seperti hendak menerkam kami.
Semuanya menarik dan menyeret Bang
Husin.
“Perjaka tua tak tau diri!”
“Kumpul kebo! Kamu pikir kami tak
tau ulahmu dengan wanita janda ini?”
“Keluar dari rumah ini!”
Aku menangis. Ingin aku berteriak
dan menolong Bang Husin yang aku tahu tidak bersalah sama sekali. Ya, aku sama
sekali tidak berbuat macam-macam dengannya. Bahkan putri-putriku sedang ada di
dekat kami menonton televisi kala itu.
Aku masih ingat bagaimana dia berteriak ditengah
caci makian yang dilontarkan orang-orang padanya. “Kalian tidak tahu malu!
Kesalahan kalian, kalian simpan rapat-rapat. Kalian benar-benar mengkambing hitamkan
orang yang tidak bersalah!”
*
Hidup ini terkadang begitu keras. Aku tahu ada
banyak tetangga yang cemburu melihat kedekatan keluargaku dengan Bang Husin. Padahal
aku hanya menganggapnya sebagai salah satu tetangga yang perduli pada
keluargaku. Namun cara mengusir mereka sungguh keji.
Kadang, kutemui putri-putriku menangis karena rindu
pada Bang Husin. Pun sama denganku. Aku belum bisa melupakan kepingan-kepingan
kelam itu dalam hidupku.
Seminggu kemudian, aku memutuskan untuk kembali
merantau ke luar kota bersama buah hatiku. Telah kusadari kalau kota
kelahiranku sudah tidak bersahabat lagi.
No comments:
Post a Comment