Dok. pri |
Eva Riyanty Lubis
Tugas Nunik berubah sejak ia
menanggalkan status lajangnya tiga tahun terakhir ini. Setiap pagi sebelum Bang
Ikbal bangun dari tidurnya, ia akan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
istri yang baik. Sholat subuh, mandi, membereskan rumah, lalu memasak. Ia tidak
pernah membeli makanan di luar meskipun ia sakit sebab ia tahu kalau suaminya
sangat tidak suka masakan yang dibeli di luar.
Nunik tahu awalnya berat baginya
untuk melakukan semuanya karena sejak ia kecil, kedua orang tuanya tidak pernah
memaksa atau menyuruhnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kerjanya hanya
belajar dan belajar hingga gelar S3 pun berhasil di raihnya dari salah satu universitas
terbaik di Amerika. Sebelumnya, ia juga tidak pernah mempunyai hubungan dekat
dengan lelaki manapun karena ia hanya ingin fokus pada pendidikan dan karirnya
sebagai dosen.
Meski begitu, Nunik sadar, ia
hanyalah seorang wanita yang kelak akan menjadi istri dan bertanggung jawab
melayani suami serta menjadi ibu rumah tangga yang baik. Karirnya sebagai dosen
di Amerika ia tanggalkan dengan ikhlas dan kembali pulang ke kampung halaman
sesuai dengan permintaan kedua orang tuanya.
*
Nunik masih ingat bagaimana kedua
orang tuanya dulu menyuruh ia untuk duduk bersama dengan mereka sebab ada yang
hendak mereka bicarakan. Waktu itu adalah malam pertama Nunik untuk tidur di
rumahnya setelah sebelumnya ia hanya pulang sekali dalam setahun ketika waktu
lebaran tiba, sebab sejak SMA ia sudah mendapatkan beasiswa di Amerika. Mulanya
ibu bercerita tentang saudara-saudara yang sangat bangga mempunyai saudara
seperti Nunik. Gadis kampung yang berhasil di Negara Adikuasa. Kemudian
dilanjutkan dengan ayah yang bercerita tentang sulitnya ekonomi saat ini.
Apalagi keempat adiknya juga masih sekolah. Ical dan Sari masih duduk di bangku
universitas di Kota Bandung, Minah SMA di Jakarta, dan Ridwan pesantren di
Gontor.
Sesungguhnya keluarga mereka
bukanlah keluarga yang miskin. Bahkan mereka tergolong sebagai keluarga terkaya
di kampung sebab ayah memiliki kebun sawit dan karet yang melimpah. Namun ayah
bercerita kalau sudah banyak kebun sawit dan karet yang terpaksa dijual untuk
memenuhi kebutuhan keluarga yang terus meningkat.
Nunik mendengar semuanya dengan
seksama. Ia tahu dan sadar kalau ia belumlah banyak membantu keuangan
keluarganya. Sebab di Amerika ia juga membutuhkan biaya yang banyak.
Lalu tibalah pada kalimat yang
membuat mata Nunik membesar.
“Nunik, kamu putri pertama kami.
Putri yang sangat kami banggakan. Namun alangkah lebih baik kalau kamu segera
menikah. Kamu sudah sangat pantas untuk menikah, Nak,” ucap ayah dengan nada
suaranya yang tenang.
Bukannya Nunik tidak pernah
berpikiran ke sana. Namun ia tidak menyangka kalau orang tuanya akan
menyuruhnya menikah di saat ia masih senang-senangnya berkarir di Negara orang.
Lagian ia merasa kalau ia belumlah terlalu tua hingga harus secepatnya menikah.
Astaga! Usianya bahkan masih 27 tahun.
Meski
begitu, Nunik tak kuasa menolak. Dengan pasti seraya meyakinkan hatinya kalau ia
bisa menjalani semuanya dengan baik, ia pun menganggukkan kepala dengan
perlahan-lahan. Hingga kemudian ia dapatkan senyum manis nan lega di wajah
kedua orang tuanya.
*
Nunik dikenalkan ayah dan ibunya
kepada Bang Ikbal. Anak dari juragan sawit terkaya di Indonesia. Seorang pria
parlente dengan jas yang melekat di badannya. Tubuhnya atletis dengan tinggi
lebih dari 170 cm. Wajahnya berwarna kuning langsat dengan rahang yang kokoh.
Tatapan matanya tajam dengan bola mata berwarna hitam pekat. Alis matanya lebat
seperti semut yang beriringan. Rambutnya gelombang dengan warna yang juga hitam
pekat. Pada pandangan pertama, Nunik jatuh cinta. Dadanya semakin berdebar kala
menemukan senyuman di wajah pria itu. Dua buah lesung pipi terlukis di sana.
Bang Ikbal, usianya sudah 35 tahun.
Namun ketampanan masih tampak wajahnya. Nunik tahu kalau lelaki itu disukai
banyak perempuan. Terbukti banyaknya perempuan yang hadir di pesta pernikahan
mereka dengan wajah yang sengaja dibuat semanis mungkin. Tetapi, Nunik tahu kalau
mereka tengah cemburu. Hal itu membuat Nunik semakin bangga dan bahagia bisa
bersanding dengan Bang Ikbal.
Sikap Bang Ikbal yang ramah padanya
sebelum pesta pernikahan mulai berubah sejak mereka tinggal di rumah mewah
milik suaminya tersebut. Lelaki itu suka memerintah, ini dan itu. Nunik juga
tidak diperbolehkan keluar dari rumah kecuali bersamanya. Untuk berlanja dapur saja
Bang Ikbal hanya mempercayakan Mak Minah. Perempuan paruh baya yang menjadi
pembantu di rumah mereka. Meski begitu, Nunik merasa kalau ia lah yang seperti
pembantu sebab pekerjaan Mak Minah hanyalah berbelanja. Selebihnya Nunik yang
mengerjakan. Sesuai dengan perkataan Bang Ikbal padanya pada malam pertama.
“Aku tidak akan menyentuhmu sampai
saatnya tiba. Bersikaplah layaknya seperti ibu rumah tangga yang baik. Jangan
mengandalkan pembantu. Tapi kamu boleh belajar darinya. Aku tahu kamu belum
terbiasa melakukan pekerjaan rumah karena pekerjaanmu hanya belajar dan
belajar. Tapi itu tidak berlaku di rumah ini!”
Nunik tertegun. Tidak menyangka akan
mendengar kalimat yang membuat hatinya terasa sakit dari suaminya sendiri.
Namun ia tidak akan menyerah begitu saja. Ia pun belajar banyak dari Mak Minah.
Mak Minah juga dengan sabar mengajari Nunik.
Tiga tahun berlalu namun Nunik sadar
kalau Bang Ikbal masih belum menganggapnya sebagai seorang ibu rumah tangga
yang baik. Bahkan pria itu belum juga menjamahnya. Seperti yang dilakukan
seorang suami pada istrinya. Hingga suatu hari Nunik memberanikan diri untuk
bertanya.
“Bang, apakah ada yang salah
denganku? Abang tidak senang kalau aku yang menjadi istri Abang?” tanya Nunik
kala suaminya itu sedang sarapan pagi bersamanya. Ia tahu mereka bukanlah
pasangan romantis. Mereka hanya bersama kala ada acara keluarga. Di sana mereka
bersikap seolah-olah mereka adalah pasangan yang sangat bahagia. Setelah itu
berakhir, Bang Ikbal kembali seperti semula. Nunik merasa kalau tugasnya
sebagai istri di samping Bang Ikbal hanyalah sebagai pelengkap. Seperti sebuah
boneka. Dimainkan sesuka hati.
Yang menyakitkan hati Nunik, Bang
Ikbal mulai sering tidak pulang ke rumah. Hal itu terjadi setelah enam bulan
pernikahan mereka. Nunik selalu ingin bertanya, namun Bang Ikbal langsung buka
suara sebelum mendengar pertanyaan dari Nunik dan berkata kalau ia tengah disibukkan
dengan pekerjaannya.
“Apa maksudmu?” Lelaki itu malah
balik bertanya dengan sorot matanya yang tajam.
“Kita tidak seperti pasangan lain,
Bang. Apa Abang tidak merasa seperti itu?” tanya Nunik dengan nada suaranya
yang pelan. Ia tidak ingin membuat suaminya marah dengan meninggikan nada
suara. Walau bagaimana pun, Bang Ikbal adalah suaminya dan ia menghormati
suaminya tersebut.
Bang Ikbal terkekeh. Lalu sebuah senyum
sinis terpampang di wajahnya. Seolah ia mengejek Nunik dengan pertanyaan yang
baru saja ia dapatkan. “Nunik, dari awal aku tidak suka padamu. Kalau bukan
karena kedua orangtua kita yang menjodohkan, aku tidak akan mau denganmu.
Sudahlah! Lebih baik kau bersikap seperti biasa saja!”
Nunik merasa seolah dunia dilanda
gempa. Ia tiba-tiba menjadi pusing dan linglung.
“Dari dulu aku tidak suka pada
perempuan bergelar banyak. Apalagi kau sampai S3 sedang aku hanya lulusan S1.
Aku lebih suka pada wanita yang biasa-biasa saja. Mudah diatur sesuka hatiku.
Seharusnya kau bersyukur karena aku mau menikah denganmu. Kau pikir akan ada pria lain di Negara ini
yang mau menikah denganmu? Mendengar gelarmu saja laki-laki udah lari terbirit-birit.
Cukup ini yang terakhir kalinya. Kau jangan bertanya apa-apa lagi!”
Air mata Nunik akhirnya luruh. Air
mata yang sejak dulu selalu ia tahan. Dengan cepat ia berlari ke dalam
kamarnya. Menumpahkan sesak di dada yang kian menggunung. Ingin rasanya ia
mengadu pada kedua orang tuanya. Namun Nunik tahu ia tidak bisa menambah beban
orang tuanya sebab keluarga mereka juga sedang mengalami musibah. Adik kecilnya
baru saja mengalami kecelakaan.
Nunik mencoba bertahan. Namun sikap
Bang Ikbal semakin menjadi-jadi. Dini hari ia akan pulang ke rumah sembari
membawa perempuan yang berbeda. Bang Ikbal membawa perempuan itu ke dalam kamar
tamu. Kikikan, erangan dan desahan dari dalam kamar itu bisa Nunik dengar
dengan jelas. Nunik hanya bisa menangis dan berdoa dalam sujudnya.
Nunik sudah tidak kuasa untuk
bertahan. Bukan keluarga seperti ini yang ia inginkan. Kala Bang Ikbal tidak
ada di rumah, ia mencoba untuk kabur. Namun kemana pun Nunik pergi, Bang Ikbal
selalu berhasil menemukannya. Biasanya hati Nunik yang selalu disakiti, namun
kini tubuhnya juga mendapat berbagai macam pukulan. Tubuh putih mulusnya
mendadak penuh luka dan lebam.
Nunik hendak mengadu pada ibu dan ayahnya.
Namun Bang Ikbal mengancam akan menghancurkan keluarganya jika ia berani
melakukan itu. Bang Ikbal juga memarahi Mak Minah jika ketahuan membantu
membersihkan luka Nunik. Mereka pun dipisahkan. Mak Minah dipulangkan ke
kampung halamannya dan diberikan uang yang lumayan banyak sebagai pesangon.
Nunik kini sendiri.
Meski begitu, Nunik masih ingin
bertahan. Ia mencoba memperbaiki nasibnya dengan mengadukan kejahatan suaminya
kepada mertua dan polisi. Namun tidak ada yang percaya. Nunik sedih. Tidak
adil! Sangat tidak adil!
Kedua orangtua Nunik meminta maaf
dan tidak menyangka kalau putri mereka tidaklah sebahagia yang mereka kira.
Berbekal tabungan milik mereka, mereka menyuruh Nunik untuk meninggalkan
Indonesia sesegera mungkin.
*
Nunik kembali menjadi dosen di Amerika.
Negara itu tetap menerima Nunik karena mereka tahu potensi besar yang dimiliki
oleh Nunik. Nunik mulai menata hidupnya lebih baik dan mencoba melupakan masa-masa
kelam yang pernah ia rasakan.
Dan suatu ketika, ia sudah bisa
tersenyum puas kala menemukan berita kalau Bang Ikbal telah meninggal dunia
karena menderita HIV Aids.
NB:
Tulisan telah dimuat pada Harian Medan Bisnis rubrik Art and Culture.
Minggu, 07 Juni 2015.
No comments:
Post a Comment