Tulisan Karya Eva Riyanty Lubis ini telah dimuat pada
Harian Analisa, Rubrik cerpen & puisi. Rabu, 08 Januari 2014.
***
Seisi
dunia menyambut detik-detik pergantian tahun. Penuh dengan suka cita. Ada yang
merayakan pergantian tahun bersama keluarga, kekasih, atau sahabat. Kembang api dengan suara menggelegar dipertontonkan kepada
masyarakat. Tanda tahun sudah berganti. Sangat cantik dan indah. Membuat
kebanyakan orang terpesona. Tersenyum dan tertawa riang. Ada yang berpelukan
penuh haru, dan ada yang menangis pilu. Mengingat tentang apa yang telah
dilakukan pada tahun sebelumnya.
Pixabay.com |
Seharusnya
aku merayakan malam pergantian tahun bersama Saddam, rekan kerja yang beberapa
bulan belakangan ini dekat denganku. Namun ketidakhadirannya di kantor beberapa
hari terakhir ini membuatku menjadi uring-uringan. Jadi saat ini, saat kembang
api terdengar kencang, aku masih duduk di tepi ranjangku. Sesekali menatap
kerlap-kerlip bintang dan kembang api itu sendiri di langit yang tampak jelas
dari jendela kamarku. Namun sungguh, ada perasaan pilu serta kehilangan di
sudut hatiku.
Ajakan
keluarga untuk merayakan tahun baru di alun-alun tidak kuhiraukan. Aku sedang
teringat olehnya. Seseorang yang datang tiba-tiba dalam hidupku dan memberiku
sebuah rasa yang kusebut dengan cinta.
Sejam
yang lalu aku memberanikan diri untuk menuliskan sebuah pesan singkat
kepadanya.
Assalamu’alaikum. Abang apa kabar? Sudah
enam hari tidak masuk kerja. Ada apa gerangan? Malam ini malam tahun baru dan
semoga semua baik-baik saja. Nisa
Lima
menit berlalu, tidak ada respon. Sepuluh menit, dua puluh menit, sampai enam
puluh menit aku menanti, tapi tetap jua tidak ada respon. Dadaku berdebar
kencang. Ada apa dengan Saddam? Apa ada sesuatu yang buruk tengah menimpanya? Tapi
kenapa dia tidak memberi kabar kepadaku? Apakah salah jika aku berharap?
Tetapi
Pak Mursal, bos di kantor pasti akan memberitahuku kalau sesuatu tengah terjadi
pada Saddam. Karena semua karyawan kantor juga tahu kalau mereka memiliki
ikatan keluarga. Tapi hingga kini aku tidak mendapatkan jawaban dari siapapun.
Aku
masih ingat akan kalimat yang dia ucapkan pas terakhir kali kami bertemu.
Kalimat demi kalimat yang dia utarakan berhasil membuatku merasa sebagai wanita
paling beruntung dimuka bumi ini.
“Dik, ada
waktu untuk bicara sebentar?” Tanya Saddam kala aku masih berkutat dengan
berbagai macam kertas laporan di atas mejaku. Waktu memang sudah menunjukkan
jam pulang. Namun aku jarang memperdulikan itu. Yang aku tahu, aku harus menyelesaikan
pekerjaanku dengan segera. Aku sangat tidak suka menunda-nunda pekerjaan.
Sedang
Saddam merupakan sales di kantor
kami. Kadang kala dia bekerja di luar kota. Dan sebahagian harinya dia bekerja
di dalam kota.
Aku
mendongakkan wajahku seraya menatap matanya yang hitam pekat. Mata yang selalu
berhasil membuatku terjerat kepadanya. Aku selalu berusaha untuk tidak kontak
mata terlalu lama dengannya. Sebab aku tahu kalau pesonanya begitu mudah
merasuki diriku.
Saddam Husein. Badannya tinggi besar
dengan rambut hitam bergelombang. Wajahnya khas Asia. Kuning langsat. Ada
lesung pipi di wajahnya. Sangat manis. Sejak pertama kali bekerja di kantor
ini, sejak itu pula aku sadari kalau ada banyak kaum hawa di kantor ini yang
terpikat akan pesonanya. Dan meski aku tidak mengakuinya, aku juga termasuk
dalam salah satu dari mereka. Terkadang hanya membayangkannya saja sudah membuat
aku senyum-senyum sendiri.
pixabay.com |
Ah,
pantaskah aku bersamanya?
“A…a…
ada apa, Bang?” Tanyaku tergagap. Kadang aku masih tidak bisa menguasai diriku
akan kehadiran dirinya. Padahal kami sudah sering bercakap-kacap meski hanya
seputar pekerjaan. Lalu pada malam hari kami juga sering saling mengirimi pesan
singkat.
“Boleh
kita bicara di luar?” Tanyanya dengan senyum yang masih terpampang di wajahnya.
Aku
menganggukkan kepalaku. Kemudian kuseret kakiku mengikuti pria itu. Kami tiba
di sebuah taman kecil yang terletak di samping kantor. Taman yang sengaja
dibangun khusus bagi karyawan bila penat sudah menghampiri. Hari ini taman itu
kosong. Hanya ada kami berdua. Aku berdiri di depannya dengan jantung yang
berdetak tidak menentu.
Apa yang hendak dia katakan? Pertanyaan
itulah yang terus hadir di dalam benakku.
Saddam
tampak salah tingkah. Sesekali dia mengacak-acak rambutnya yang tidak kusut.
Cengiran lebarnya tidak pernah hilang dalam pandanganku.
Aku
semakin penasaran. Lalu mencoba
untuk ikut tersenyum lebar.
“Oke, Adek. Akan Abang katakan.” Ucapnya setelah
menghembuskan napas panjang beberapa kali.
“Abang… Abang… Abang suka sama kamu, Dek. Abang hendak melamar
dan mempersuntingmu. Bisakah?” Ucapnya kemudian dengan lancar.
Kalimat itu bagai petir yang pekakkan telingaku. Tubuhku
bergetar hebat. Kurasakan juga kalau wajahku memanas. Benarkah kalimat yang dia
ucapkan? Ya Tuhan, apakah aku sedang bermimpi?
“Dek
Nisa, maaf kalau Abang terlalu cepat untuk mengatakannya. Tapi
keinginan ini sudah Abang pendam terlalu lama. Abang sudah tidak sanggup untuk
memendamnya.” Ucapnya tulus. Dapat kulihat kejujuran dari bola matanya.
“Tapi… tapi… Abang baru mengenal
aku. Bagaimana mungkin Abang mengatakan hal yang seperti itu? Lagian aku
bukanlah wanita yang sempurna. Harusnya Abang tahu itu,” ucapku sedih.
“Jangan katakan seperti itu, Dek Nisa. Tidak
ada manusia yang sempurna di bumi ini. Harusnya Adek juga tahu itu. Lagian
Abang bukan mencari pacar. Abang mencari pendamping hidup. Yang mau hidup susah
senang bersama Abang hingga akhir hayat nanti.”
Hatiku terenyuh mendengarnya. Mungkinkah dia akhir dari menantianku? Tuhan, bolehkah
aku berharap lebih kali ini?
“Beri
aku waktu, Abang.” Ucapku akhirnya.
Dia
menganggukkan kepalanya sembari memberi sebuah senyuman yang tetap sangat manis
di benakku.
“Abang
akan menunggu. Abang berharap semoga Adek memberi jawaban yang menyenangkan.”
Tambahnya lagi.
Aku tersenyum kaku.
*
Di rumah, kukatakan apa yang telah
Saddam ucapkan kepada kedua orang tuaku. Ibu menangis terharu. Begitu juga
dengan ayah. Meski tidak kudapatkan bulir-bulir air mata di wajahnya.
“Terimalah, Nak. Mungkin dia jodoh yang telah Tuhan
berikan padamu.” Ucap Ibu bahagia. Aku sudah menduga jawaban dari ibu. Sudah
sejak lama ibu berdoa akan jodohku.
“Biar
bagaimanapun Nisa, menikah itu bukan hal yang sembarangan. Tanya pada hati
kecilmu. Bisakah kamu menerimanya? Kalau untuk cinta, ayah rasa akibat
kebersamaan cepat atau lambat itu pasti bisa terjadi. Ayah dan Ibu menginginkan
kebahagianmu, Nak. Kalau kamu sudah yakin, kami akan mendukung keputusanmu.”
Aku
terharu mendengar ucapan ayah. Ayah terhebat yang pernah aku temui. Begitu juga
dengan ibu. Mereka tidak pernah malu telah memiliki putri sulung sepertiku.
Satu-satunya putri mereka yang belum menikah. Padahal ketiga adikku sudah
memiliki pangeran dan putri cilik masing-masing.
Ah semua
orang juga menginginkan pernikahan. Memiliki suami yang sangat mencintai kita
kemudian ditambah dengan kehadiran buah hati. Aku juga memimpikan itu sejak aku
berusia 20 tahun. Dan hingga kini aku berusia 38 tahun, aku masih memiliki
mimpi yang sama. Meski aku sadari mimpi itu kian hari kian memudar.
*
Aku
berjanji akan mengatakan iya pada lamaran Saddam di malam tahun baru ketika dia
mengatakan akan membawaku jalan-jalan ke luar rumah di malam istimewa ini
bersama saudara-saudaranya. Tapi aku tidak mendapatkan apa-apa.
Dia menghilang.
*
Tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Di kantor atau pun rumahku. Padahal pergantian tahun
sudah terjadi lima hari yang lalu.
Aku
melangkah lunglai menuju kantor. Kembali dengan tugas sehari-hari yang
terkadang bisa membuatku lupa akan perasaan cintaku sendiri.
Jam
istirahat siang Pak Mursal menemuiku. Mengucapkan kalimat yang membuat
pertahananku roboh.
“Apa
yang sudah Bapak lakukan?” teriakku padanya.
Pria itu
hanya menundukkan wajahnya. Sedang aku mencoba menguatkan hati dan fisikku
untuk berlalu dari hadapannya.
Saddam ingin menjadikanmu sebagai istri
kedua. Dia ingin memiliki penerus. Sedang istrinya beberapa bulan belakangan
ini menderita gangguan jiwa karena tidak bisa memiliki bayi. Namun akhirnya dia
sadar, sebenarnya dia tidak mencintaimu apalagi, maaf, karena kondisi kakimu yang sudah diamputasi.
Sekarang dia membantu istrinya agar pulih seperti sedia kala. Maaf, maaf... akulah
yang menyarankan dia untuk mendekatimu.
No comments:
Post a Comment