Tulisan Karya Eva Riyanty Lubis ini telah dimuat pada
Harian Medan Bisnis, Rubrik
Karya Belia. Minggu, 08 Desember 2013.
***
Dari balik pohon pinus itu, aku bisa melihat bahwa kau
meluruhkan kristal bening. Padahal kau mengatakan padanya kalau itu tindakan
bodoh yang seharusnya tidak dilakukan oleh kaum adam.
*
Aku
jatuh cinta pada pandangan pertama. Rasanya
benar-benar membuatku kehilangan kata-kata. Yang kuinginkan hanya satu, ingin
selalu di dekatnya. Dia sosok yang luar biasa. Ganteng, keren, alim, pintar,
dan tajir. Perfect. Seorang ketua Osis
dan sudah pasti merupakan salah satu siswa terpandang di sekolah ini. Bukankah
semua telah ada padanya? Dan hal itulah yang membuatku terpesona. Mungkin juga
sedikit tergila-gila. Ah, dia benar-benar telah berhasil menghipnotisku dalam
pesonanya. Oh, tidak. Ini terjadi sudah begitu lama. Namun rasa itu kembali
membuncah saat ini.
Aku rasa banyak
juga gadis yang tergila-gila padanya. Sebab tak jarang aku menemukan beberapa
gadis datang secara terang-terangan untuk mendekatinya. Namun itu tidak akan menyurutkan
semangatku untuk mengenalinya lebih jauh. Malah kalau bisa untuk mendapatkan
hatinya. Sebab aku ingin dia menjadi milikku. Yap, nothing is impossible. Dan aku tidak
boleh pesimis.
Tidak ada yang lebih indah dari
merasakan cinta. Begitulah yang
kualami saat ini. Dunia seakan selalu tersenyum memandangku.
Mereka turut berbahagia. Ah…. Betapa menyenangkan. Rasanya dunia ini hanya
milik aku dan dia. Betapa bahagianya. Sampai tak terungkapkan dengan kata-kata.
Walau aku masih menyukainya dalam diam, namun dia benar-benar sudah berhasil
menguasai seluruh isi jiwaku.
“Kamu yang namanya Luna?”
Aku mendongakkan wajah ke arah
datangnya suara. Dan seketika aku melongo. Dia. Cowok idamanku. Untung aku
tidak sampai mengeluarkan isi yang ada di mulutku saking kagetnya mendapati dia
karena kini berada di hadapanku.
“Eheem….” Dia berdehem. Membuyarkan lamunanku.
“Maaf,
maaf. Iya
saya Luna, ada apa?” tanyaku kemudian sambil berdiri menghadapnya. Tak etis rasanya dia berbicara padaku sedang aku masih
terduduk manis di kursi kantin ini. Dag dig dug. Jantungku benar-benar tidak
mengenal situasi dan kondisi untuk menunjukkan reaksinya.
“Ikut ke
ruangan OSIS sekarang!” perintahnya dan kemudian langsung ngeloyor pergi meninggalkanku yang masih menatapnya dengan bengong.
“Kenapa
aku di suruh ke ruangannya ya?” tanyaku dalam hati, bingung. Tapi sejenak
kemudian pipiku malah bersemu merah. “Ini
pertama kalinya dia berbicara padaku. Apa ini pertanda baik?”
*
“Whaaaaaaaaaat?
Nggak! Nggak! Nggak mau.” Aku berteriak dengan suara nyaringku.
“Aku
sudah memutuskan bahwa kamu yang harus melakukan itu!” Jawabnya santai.
“Kok
harus aku sih? Cari yang lain dong. Mana pede aku nyanyi di depan orang banyak?
Lagian aku nggak bisa nyanyi. Kamu kok maksa gitu sih?” aku kembali membentaknya,
kencang. Ah, dia menyebalkan. Memutuskan dengan sesuka hati.
“Kalau kamu nggak mau, aku bisa
laporin ke kepala sekolah bahwa kamu kerja di café. Aku bisa membuatnya
berpikir yang tidak-tidak. Dan setelah itu kamu tahu kan akibatnya?” senyum
sinis tertoreh dari sudut bibirnya yang tipis. Namun dia tetap keren di mataku. Apalagi jarak kami yang
begitu dekat. Argh, menyebalkan. Mungkin ini yang namanya cinta itu buta.
Jelas-jelas dia menyebalkan, tapi tetap aja aku terpesona dibuatnya.
Karena
desakan dari Alvin, terpaksa aku menganggukkan kepala. Sekolah kami akan
mengadakan pensi dua minggu lagi. Hal itu bertujuan untuk mencari bakat dan
kreatifitas siswa di bidang seni tingkat sekolah. Sekolah kami sudah terkenal
dengan siswa-siswanya yang penuh dengan kreatifitas. Sehingga tahun ini kami
dipersilahkan untuk menjadi tuan rumah. Lexus Band, nama Band sekolah kami yang
akan menjadi pembuka acara pensi kali ini. Band yang namanya mulai terdengar di
kancah industri musik ini beranggotakan empat orang. Alvin sebagai gitaris,
Gita sebagai vokalis, Endro sebagai drumer dan Ivan sebagai pianis.
Nah,
berhubung Gita sedang terkena radang pita suara, jadi Alvin menyuruhku untuk
menggantikan posisi gadis bersuara merdu itu. Yang jadi masalah, apa dia sudah
pernah mendengar bagaimana suaraku kalau bernyanyi? Gimana kalau tidak cocok
dengan grup band mereka? Ah, pusing.
Aku dan
Lexus Band mulai latihan. Awalnya aku merasa segan kepada mereka. Namun karena
mereka orangnya asyik dan welcome,
jadi aku mulai terbiasa. Eh, kecuali si Alvin deng. Dia dingin banget kepadaku. Sedih jadinya.
“Suaramu
bagus, Luna. Pokoknya jangan mengecewakan band dan sekolah kita.” Ucap Endro
tersenyum manis.
“Besok
hari H, persiapkan dirimu ya Luna. Jangan grogi deh pokoknya. Ingat, kamu ujung
tombak penampilan kita lho.” Ivan menambahkan.
“Kalian
lebay banget sih.” Alvin mendengus kesal. Aku mengerutkan kening mendengar
perkataannya.
Hari H
tiba.
“Duh, gimana nih? Aku memang biasa nyanyi
kalau di cafe. Tapi
penontonnya kan sedikit? Oh Tuhan, help me!” aku menggenggam
kedua tanganku yang mulai berkeringat.
“Kamu pasti bisa, Luna. Kerahkan semua kemampuanmu.
Jangan menyia-nyiakan waktumu yang sudah habis untuk latihan.”
Aku
melongo. Kemudian berbalik badan untuk mendapati si pemilik suara.
“Alvin,”
ucapku pelan, sedikit terkejut.
Dia
tersenyum, amat sangat manis. Meski hanya beberapa detik.
Kami
memasuki panggung yang sudah ditunggu oleh berpuluh-puluh, eh ralat,
beratus-ratus penonton yang berasal dari berbagai macam sekolah. Di antara
mereka banyak yang meneriaki nama Alvin. Huh, sampai siswa sekolah lain juga mengenalnya.
Aku
mulai bernyanyi. Because
of You milik
Kelly Clarkson mengalir dengan lancar dari mulutku. Sebahagian penonton larut dalam nyanyianku. Sebahagian lagi ikut bersenandung.
Kelly Clarkson mengalir dengan lancar dari mulutku. Sebahagian penonton larut dalam nyanyianku. Sebahagian lagi ikut bersenandung.
Because of you
I'll never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I am afraid
I'll never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I am afraid
Lagu berakhir, tepuk tangan membahana terdengar sepenjuru sekolah. Aku
terpaku. Belum begitu yakin dengan apa yang kusaksikan. Alvin menepuk-nepuk
pundakku. Dia tersenyum sangat manis.
“You get
it.” Ucapnya pelan. Air mataku sedikit demi sedikit mulai meleleh. Aku
berhasil.
*
“Alvin,” teriakku sambil mengejar
Alvin yang tengah berjalan ke parkiran untuk mengambil motornya.
Dia menoleh. Oh my God,
rambutnya yang lurus melambai-lambai tertiup angin. Mata elangnya menatapku
dengan tajam. Rupawan.
“Ada apa?” tanyanya dengan gayanya
yang kembali cool.
“Hm…. Aku mau bilang sesuatu sama kamu.” Ucapku pelan.
“Mau bilang apa?”
“Aku... aku... aku
suka sama kamu.” Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. Bisa
kurasakan bahwa pipiku mulai memanas.
Alvin mengertakkan
giginya. Lalu mendengus kesal. “Kamu bisa ya bilang seperti itu padaku?”
“Maksudmu?” tanyaku
bingung.
“Udah, lupakan!”
“Alvin,” mukaku
memelas. Aku benar-benar penasaran dengan kalimatnya barusan.
Dia berjalan lebih
dekat ke arahku. “Dulu kamu pergi meninggalkanku, Luna. Dan sekarang kamu
tiba-tiba muncul di sekolah ini. Selalu berusaha mendekatiku. Kamu pikir aku
tidak tahu kelakuanmu yang suka menguntitku? Kamu mencari tahu semua hal yang
aku lakukan dari teman-temanku. Kamu menjijikkan. Bahkan dengan mudahnya kamu
mengganti namamu. Untuk membohongiku, Luna?”
Air mataku mulai
meleleh.
“Ketika kunyatakan
cinta dua tahun yang lalu, kamu menolakku. Bahkan kamu pergi meninggalkanku.
Andien Ramadhini. Itulah namamu yang sebenarnya bukan?”
Aku geleng-geleng
kepala. Tangisku semakin kencang. Alvin hendak beranjak, namun kalimatku
membuat badannya kaku.
“Aku kembaran Andien.
Tidakkah Andien mengatakan hal itu padamu? Aku tinggal bersama ayah sedang ia
bersama ibu. Karena waktu itu ibu meninggal, Andien kami bawa ke Bandung. Aku
bahkan melihat kalian berdua ketika Andien pamit kepadamu. Kamu lupa?”
“Andien sudah
meninggal, Vin. Dia terkena radang otak. Penyakit yang sama dengan yang ibu
alami. Aku datang ke Jakarta untuk mengatakan hal itu padamu. Tapi aku nggak
bisa. Kamu selalu menjauhi aku. Dan aku sudah terlanjur jatuh cinta kepadamu.”
Alvin berbalik badan
dan menatapku tajam. “Luna, kamu bohong!”
Aku menggeleng.
“Andien suka padamu.
Tapi dia nggak bisa mengungkapkannya. Dia sakit dan dia nggak mau kamu tahu,
Vin. Jangan berpikiran buruk padanya. Kumohon,”
Air mataku
semakin deras. Tiba-tiba Alvin merangkul tubuhku. “Maafkan aku, Luna. Maafkan aku. Aku belum bisa menerima cintamu. Tapi
maukah kamu menemaniku ke tempat Andien?”
*
Alvin menangis
memandangi makam Andien. Aku mengelus pundak Alvin pelan.
“Jangan nangis.
Bukannya kamu yang bilang kalau laki-laki nggak boleh cengeng? Aku dengar
pembicaraan kalian waktu itu lho. Dan Andien nggak mau kalau kamu sedih.” Aku
mencoba untuk tersenyum kepadanya.
“Aku belum bisa
mencintai orang lain selain Andien, Luna.”
Hatiku meringis
kesakitan. “Ya, aku tahu.” Ucapku pelan.
Jikalah cinta bisa menggantikan cinta
ReplyDeleteMengapa harus menolak cinta???
Bagus ceritanya...aku syuuka
makasihhh apresiasinyaa
ReplyDelete