pixabay.com |
Harian Analisa Medan Rubrik Rebana. Minggu, 07 Desember 2014.
Eva Riyanty Lubis
Mimosa, bagian dari bumi yang
lebih tepatnya tidak dianggap ada.
*
Menjelang pagi di bawah kolong
jembatan, udara dingin mengalah pada nyala api di atas unggun. Aku hidup di kota yang menampakkan sejuta
cerita. Manis dan pahit. Namun pahit ternyata lebih unggul. Akulah, Mimosa. Mereka anggap, diriku seperti sampah kota.
Pun aku memang tak mempunyai
rumah tetap. Apalagi harta benda lainnya. Miskin? Ah, kamu bahkan boleh
menyebut lebih dari itu.
Bagiku, kota ini palsu. Sebab,
kota yang tumbuh bersama jelang harapan telah sakit. Hiruknya cakap orang
terpecah bagai layar terkembang. Pagi ini, kumulai hariku tuk meraup rupiah. Aku berdiri di dekat halte pada
penghujung kabut seraya membawa kotak kayu yang kukalungkan pada leher. Kotak kayu
itu berisi aksesoris, hasil buatan tanganku sendiri. Aku tengah menanti orang
yang berlalu lalang di depanku. Setidaknya, aku selalu berandai-andai agar
daganganku terjual habis untuk hari ini. Meski itu sangat susah terjadi. Atau
bahkan tidak pernah terjadi.
Dalam pandangan mataku, kabut
menjadikan gedung-gedung, jembatan layang, dan pertokoan tampak samar.
Seolah-olah seperti hendak mengepungku.
Lalu kulihat seorang lelaki berpakaian
serba putih sedang duduk di halte. Lelaki itu tengah membaca koran hari ini
seraya menghisap sebatang rokok. Asap rokok itu kian mengepul dan berarak membelai raut wajahku. Asapnya yang
kata orang bisa menjalar penyakit teramat parah bila hisapan itu berkelanjut. Aku
menghela napas. Sudah terbiasa. Lalu kucoba untuk mendekatinya. Berharap ada
harapan untuk hari ini.
Kini aku telah berdiri tepat di
hadapannya. “Pak, apakah
Bapak mau membeli dagangan saya?” lelaki itu mengalihkan pandangan kepadaku,
lalu melirik sebentar produk yang tengah kuperlihatkan. “Mungkin bisa diberi
kepada istri atau putri Bapak.” Tambahku dibarengi sebuah senyuman termanis
yang pernah kumiliki.
“Dek, mereka sudah
terbiasa membeli aksesoris bermerek,” ucapanya dengan nada lemah lembut, namun tajam.
Lelaki itu memeriksa arlojinya. “Saya sedang buru-buru,” ia beranjak pergi. Masuk
ke dalam bis yang berhenti di depan kami.
Pada tepian hari sungguh
terasa membosankan. Sepanjang hari aku selalu termangu di tepi jalan. Seperti
hari-hari sebelumnya, aku harus terbiasa merasakan penatnya hidup ini. Aku
bahkan tidak ingat kapan uang benar-benar berpihak kepadaku. Dan dingin pun
mulai menyatu bersama kabut, mengiringi rumpun dedaunan yang tertimpa embun.
“Andai saja kedua
orangtuaku masih hidup. Mungkin hidupku takkan seperti ini. Yang kulalui dengan
kesendirian. Luntang-lantung tak terarah.”
Kulangkahkan kaki menyusuri
jalanan kota di atas trotoar basah. Inilah Kota Metropolitan. Kota yang kejam.
Cukup aku saja yang merasakan kekejaman ini. Dulu, bapak meninggal di kota ini
karena amukan masa. Gara-gara dituduh sebagai maling, tapi itu tidak benar. Malah
yang menuduh bapak adalah maling sebenarnya.
Lalu, aku mulai memasuki
area rumah yang begitu kumuh dan terpencil. Melewati gang rumah yang panjangnya
sekitar satu meter. Rumah itu diapit oleh gedung-gedung yang menjulang tinggi
bak permadani istana. Jalanan becek. Genangan air mengapung di atas jalan yang
berkerikil. Sejenak, kutajamkan pendengaran. Aku mendengar senandung nyanyian
yang mengurai sunyi. Sangat merdu. Lalu kulangkahkan kakiku lebih jauh ke dalam
gang sempit. Pula melewati area perkebunan luas.
Di beranda rumah,
kulihat sosok perempuan tua yang sedang duduk di atas dipan kayu. Perempuan itu
begitu renta. Rambutnya tergelung ke atas. Tampak tumbuh uban pada rambutnya.
Kuperhatikan perempuan itu tengah memandangi pakaian yang sudah tak layak
pakai. Nampak raut wajahnya sedang bersedih. Kuputuskan tuk menghampirinya.
Sekedar bercengkerama, bilamana ia mau membagi kisah sedihnya padaku.
“Nenek kenapa? Kok
kelihatannya sedang sedih?” tanyaku tersenyum manis seraya duduk di sampingnya.
Ia memandangku sejenak.
“Nenek ingin menemuiNya.
Karena lewat Dia, Nenek akan bertemu dengan putri-putri Nenek. Tak guna lagi
hidup serenta ini, Cu.” Sahut si Nenek yang membuat keningku berkerut.
“Kau tinggal dimana, Cu?”
tanya nenek membuyarkan anganku.
“Di bawah kolong
jembatan bersama anak-anak jalanan.”
“Pasti kau selalu beryanyi
riang di jalanan bersama anak-anak jalanan itu. Seperti jadi pengamen?”
“Tidak, Nek. Sepanjang
waktu, aku selalu membuat berbagai macam aksesoris perempuan. Seperti kalung,
gelang, atau cincin dari manik-manik. Hanya itu yang bisa kulakukan. Lalu,
ketika pagi menjelang, aku menjualnya di pelataran jalan.”
“Kenapa kau tidak
memilih menjadi pengamen? Bukanlah itu lebih mudah untuk menghasilkan uang?”
“Sungguh, kehidupan
pengamen sangat menyedihkan, Nenek.”
“Apakah kau senang
tinggal di bawah kolong jembatan? Kenapa kau tidak tinggal di sini saja bersama
Nenek. Temani Nenek di rumah kardus ini.” Nenek memberikan senyum manisnya.
“Benarkah? Apakah tidak
merepotkan, Nek?” tanyaku dengan mata berbinar.
“Tentu saja tidak. Malah
Nenek sangat senang. Nenek sendirian di sini.”
*
Menjelang sore, suara
adzan mulai terdengar dari arah mushala. Kunikmati alunan adzan yang bergema
merdu di kelopak telingaku. Seruan untuk melaksanakan sembahyang Ashar. Allahohu Akbar Allhohu Akbar…
“Nek, Mimosa sembahyang
dulu!”
“Kita berjama’ah ya,
Cu.”
Dibarengi sebuah
senyuman, aku pun mengangguk mantap.
Kami sembahyang di atas
dipan kayu tanpa alas. Yang terletak di teras depan rumah nenek. Biasanya,
dipan itu digunakan sebagai ruang tamu.
*
Tak terasa, waktu telah larut.
Senja menampakkan
siluet remang. Matahari berkedip ketika gerombolan camar terbang melintasinya.
Burung-burung tersebut mulai kembali ke sarangnya, berkicau di atas pohon
seraya menyambut datangnya rembulan. Tatapanku kosong ketika menyaksikan cahaya
kekuningan terpampang di depan mata.
Sontak, lamunanku
langsung buyar. Kudengar ada suara pecah dari dalam rumah nenek. Aku berlari dan
mendapati nenek tengah terbaring di atas kasur. Rupanya, nenek hendak mengambil
segelas air untuk minum, namun gelas itu jatuh dan pecahannya berserakan di
tanah. Aku membersihkan pecahan itu. Lalu menuangkan teh hangat yang
mengepulkan uap tipis ke dalam gelas―memberikannya pada nenek.
Di atas meja, kulihat
sebuah buku bersampul kertas warna cokelat pucat. Kubuka halaman buku itu. Ada
tiga nama tertulis di dalamnya. Bertuliskan: Almarhum suamiku, Dina dan Dini.
“Apakah Dina dan Dini
adalah anak nenek?”
“Ya, mereka adalah putri
kembarku yang tlah meninggal. Dina meninggal karena kecelakaan, sedangkan Dini
meninggal karena sakit. Kami ini orang miskin, tak sanggup membayar biaya rumah
sakit. Lalu pihak rumah sakit mencabut semua alat medis yang melekat di tubuh Dini.”
“Berarti mereka sama
halnya dengan pembunuh. Mereka telah membunuh Dini perlahan-lahan.”
“Kau benar, Mosa.”
Air matanya mulai
berlinang membasahi pipi. Setetes air mata yang jatuh dari diri orang-orang
terpinggirkan. Yang menggambarkan kisah nista dari kalangan atas kepada
kalangan bawah. Kasihan, nenek. Harus
ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya, gumamku dalam hati.
Mataku mendarat di atas
dinding di hadapanku. Kulihat biola yang indah. Masih tampak baru dengan
lapisan warna cokelat mengkilat. Mungkin biola itu adalah teman hidupnya yang
sangat berarti.
“Itu biola siapa, Nek?”
“Itu biola milik Nenek.
Biola itu selalu dimainkan oleh Dina dan Dini. Saat Nenek masih muda, Nenek
lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain biola. Hingga akhirnya, alunan
melodi biola itu telah mempertemukan Nenek dengan almarhum suami Nenek.”
“Apa kau suka dengan
biola itu?” lanjutnya.
“Ya, sangat suka. Aku ingin
bermain biola diantara bunga-bunga yang bermekaran, pohon-pohon yang masih
berdaun hijau ranum, dan burung-burung yang berkicau di atas sarang. Aku ingin
bermain di tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan hijau. Mungkin seluas
hamparan samudera. Agar aku bisa membayangkan mereka semua menari-nari di atas
senandung indah biola yang kumainkan,” anganku.
“Pasti itu akan menjadi
lukisan indah dalam senyummu!”
“Ya, waktu aku masih
kecil, Bapak pernah membelikanku biola. Tapi hilang dicuri orang. Padahal aku
sangat menginginkan biola itu,” aku tersenyum kecil. “Ah, sudahlah! Lebih baik
sekarang Nenek istirahat. Kan Nenek sedang sakit.”
“Badanku sudah renta
dimakan usia. Di masa tuaku, aku hanya bisa menunggu kematian untuk menjemput.”
“Jangan berkata seperti
itu, Nek. Selagi Allah memberi usia untuk hidup, maka kita harus beryukur.
Nenek berdoa dulu ya. Biar bisa mimpi indah,” ucapku seraya merentangkan
selimut di atas tubuhnya. Wajahnya tampak pucat.
“Aku ingin bermimpi
bertemu dengan suami dan dua anakku. Apakah bisa?”
“Insya Allah...” aku mengangguk pelan.
Kemudian aku berjalan
keluar rumah, berdiri di depan pintu seraya mendongak ke langit hitam.
Pemandangan malam yang indah dengan bertabur bintang di langit. Pun sang
rembulan tampak merona memancarkan cahayanya yang terang. Pada batas gedung
yang menjulang tinggi, lampu-lampu penerang telah menyala. Kurasakan hembusan
angin berarak mengalunkan sayapnya yang lembut. Lalu membelai rambut tipisku
yang bergelombang.
Aku beranjak masuk ke
dalam rumah. Sejenak kupandang raut wajah nenek yang tampak sangat pucat.
Suaranya pun terdengar lemah. Ia kian mencengkeram selimut. Tubuhnya seperti
sedang kedinginan. Padahal, udara di luar terasa hangat.
Nenek mengigau.
Menyebutkan nama orang-orang terkasihnya. Aku hanya bisa berdoa sembari
berusaha membangunkan nenek. Namun waktu tidak berpihak padaku. Berselang lima
belas menit, nenek mengembuskan napas terakhirnya. Dan air mataku tumpah ruah.
Begitu deras.
*
Ketika aku membuka mata,
kutemukan diriku tengah terbaring di antara rerumputan tak terurus. Perutku
terasa sakit. Meronta-ronta ingin diisi.
“Siapa nenek yang ada di
dalam mimpiku? Dan kenapa aku bisa tidur di atas rerumputan ini?” tanyaku dalam
hati, lirih.
Dan pikiranku semakin
acak-adut kala menemukan sebuah biola tak jauh dari tempatku. Persis seperti
biola yang ada di dalam mimpiku, milik si nenek.
*
Aku Mimosa. Dan hampir
seluruh manusia di bumi ini tidak menganggap kehadiranku ada.
Medan, Oktober 2014
No comments:
Post a Comment