Sumber: https://pixabay.com/en/woman-with-ice-cream-girl-lady-ice-2004777/ |
Cerpen Pria Bersenyum Manis telah dimuat pada Harian Analisa Medan, Rubrik Rebana. Minggu, 9 September 2012.
***
Menjelang sore, di Kampus Universitas Florida, USA.
Terduduk manis aku di kursi taman.
Di sebuah bangku, merenungi waktu, aku bisa membayangkan
kejenuhan menahun. Orang-orang sebelumku, pernah menempatkan dirinya di taman
ini. Di atas bangku, tenggelam dengan segala kisahnya. Mungkin sepasang kekasih
pernah menggoda di sini. Pernah pula mahasiswa meringkas waktu dengan mengurai
hatinya yang nyeri. Dan beratus meter di atas kepala... sore memantulkan cahaya
emas pada tulisan ‘Florida University,
USA. Hanya kemilaunya yang kutangkap dari tempatku terduduk sekarang.
Sebuah buku tentang kriminal berada dalam dekapan.
Sekalipun buku itu telah kubaca berulang-ulang, tetap saja pikiranku tidak
fokus. Dengan malas aku menutup buku itu, lalu dengan kepala yang sedikit
puyeng terpaksa kualihkan pandanganku ke depan, menatap senior-seniorku yang
tampak bersemangat melakukan latihan cheerleader.
Mereka tampak sangat bergembira melakukan atraksi yang bagiku lumayan
menakutkan itu.
Senyum
tipis mulai tersungging di sudut bibirku tatkala melihat mereka berhasil
membuat gerakan-gerakan yang indah. Meluik-liuk kesana kemari dengan mudah.
Kaki jenjangnya berputar-putar bak gasing. Bahkan dengan mudah mereka melakukan
formasi paramida. Yap, pasti dengan kerja kerus tentunya. Yang aku tahu, itu
merupakan gerakan yang sangat ditunggu-tunggu oleh penonton.
Setelah
cukup puas melihat atraksi mereka, kuputuskan untuk beranjak dari tempat itu.
Namun handphoneku tiba-tiba berbunyi. Dari ayahku, di Indonesia.
“Assalamu’alaikum,
Ayah. Ada apa?”
“Wa’alaikumsalam,
Marina. Bagaimana kabarmu di sana, Putriku?”
Aku tersenyum. “Baik, Ayah. Ada apa? Tampaknya Ayah
sedang galau,”
“Hm... kau
memang selalu bisa menebak isi hati Ayah. Ya Marina, Ayah benar-benar galau.”
“Ceritakan
padaku, Ayah. Kalau Ayah tidak bisa menceritakan masalah itu kepadaku sebagai
seorang anak dan ayah, maka anggap aku sebaya denganmu, Ayah.”
Terdengar
olehku tawa ayah di ujung handphone.
“Ayah
selalu menantikan kata-katamu ini.”
“Jadi,
apa yang kini Ayah risaukan?” Tanyaku memulai dengan nada serius.
“Aku
telah kalah sebagai Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Aku lengah. Tatkala aku
telah mendapatkan waktu dan kesempatan untuk mendapatkan pelakunya, hati dan
nuraniku malah tersentuh bersimpati melihatnya.” Terdengar penyesalan dari
suara ayah.
“Apa
yang terjadi? Aku tahu Ayah bukan orang yang tidak bisa bekerja secara
profesional. Aku tahu Ayah selalu berhasil menaklukkan para mafia itu. Apa yang
terjadi? Apa yang Ayah ragukan? Apa yang membuat Ayah menjadi bingung seperti
ini?”
“Jangan
memberiku pertanyaan yang bertubi-tubi. Sudah lelah otakku berfikir.”
“Itu
bukan jawaban yang baik dari mulut seorang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.”
“Entahlah.
Aku benar-benar kehilangan jati diriku. Ngomong-ngomong, bagaimana
perasaanmu apabila memiliki sahabat?”
“Ah.... Ayah mengalihkan
pembicaraan. Baiklah. Mengenai sahabat, sudah pasti aku akan sangat bahagia.
Sahabat di dunia ini jarang ditemukan. Maka berbangga dan bersyukurlah tatkala Ayah
menemukan sahabat sejati Ayah.”
“Ok. Kelak kamu akan mengerti. Perbincangan kita cukup
sampai di sini.”
Setelah
mengucap salam, ayah menutup teleponnya.
Aku
mendesah panjang. Usiaku baru memasuki sembilan belas tahun. Dan sungguh, walau
aku telah belajar Kriminologi dan Peradilan Kriminal jauh-jauh ke Florida,
tetap saja aku belum bisa menguasai segalanya. Apalagi dengan kasus besar
seperti mafia. Kurasa aku belum matang untuk menalar masalah tersebut. Paling aku
hanya berpedoman kepada teori.
Padahal mereka, keluargaku, telah memberikan aku tanggung
jawab sebagai pengganti ayah tatkala ayah telah menghabiskan masa kerjanya
kelak. Oleh sebab itu, aku harus mempersiapkan diriku dengan cepat.
*
Hari
ini Florida diliputi cuaca dingin. Dengan mantel bulu meliliti tubuhku,
kulangkahkan kakiku menuju Richmond kafe, tempat favoritku untuk sekedar minum
teh.
Minuman telah tiba di mejaku. Setelah
itu, seperti biasa aku membuka laptop dan langsung berlari ke layar yang amat
kusukai. Facebook
dan wordpress. Kali ini aku hanya
menyapa beberapa teman di facebook.
Dan aku tidak berniat untuk menuliskan cerita hari-hariku beberapa hari
terakhir ini pada blogku.
“Indonesian?”
Suara
seorang pria menyapa. Aku mendongakkan wajahku.
“Ya?”
“Boleh aku duduk disini?”
Aku memandangnya dengan teliti sebelum aku mengangguk
mengiyakan. Mukanya sangat Asia sekali. Meski ditutupi oleh bulu-bulu halus di
wajahnya. Setelah beberapa menit aku memandanganya, kemudian aku menutup
laptopku. Tidak etis rasanya berbicara dengan seseorang sedang aku masih asyik
dengan duniaku sendiri.
“Kuliah
di mana?”
“Universitas
Florida. Bagaimana kamu tahu kalau aku dari Indonesia?” Tanyaku dengan kening
berkerut.
Ia
tersenyum.
“Wajahmu
sangat Asia. Mudah untuk
membedakannya di antara keramaian kafe ini.”
Aku
mengangguk.
“Aku juga dari Indonesia.”
“Aku tahu.”
Ia mengerlingkan matanya.
“Wajahmu juga sangat Asia. Dan kamu bisa berbahasa
Indonesia dengan fasih.”
Ia
tertawa pelan.
“Apa yang kamu lakukan disini?”
“Berlibur.
Indonesia sungguh menjenuhkan.”
“Maksudmu?”
“Yah,
aku butuh udara segar.”
“Aku ingin penjelasan yang detail.”
Ia kembali tersenyum. Manis. Usianya mungkin sudah lebih dari empat puluh. Tetapi
garis-garis ketampanan masih terpampang di sana. Kalau boleh aku memanggilnya,
akan kusebut dia dengan pria bersenyum manis.
“Kekacauan
terjadi di mana-mana. Pemerintahan terombang-ambing. Apalagi dengan maraknya mafia. Mereka telah menghancurkan
Indonesia. Kamu tahu, kemarin aku melihat berita bahwa mafia yang menjadi
buronan itu kini telah lari dari Indonesia.”
“Itu
artinya Indonesia telah lengah.”
“Ya.” Ia kembali tersenyum. Senyum yang sangat menawan. Kemudian
menyeruput teh yang sedari tadi ia pegang.
“Mafia
itu licik. Dan sudah pasti cerdas karena sampai bisa mengelabui masyarakat
Indonesia. Kalau menurutku, sudah pasti ada orang dibelakangnya.”
“Benar. Apa yang kamu ketahui tentang mafia?”
“Mereka
merugikan negara dan ingin mengacaukan pemerintahan serta semua yang ada
didalamnya. Dan kebanyakan dari mereka sebenarnya orang-orang yang berpengaruh
dalam pemerintahan. Yang intinya mereka menggunakan jabatan dan wewenang mereka
untuk melakukan perbuatan yang merugikan bangsa ini.”
“Sebahagian
dari mereka tidak seperti itu. Mereka melakukan itu karena prihatin dengan kondisi
negaranya. Makanya mereka melaksanakan aksi yang menurut mereka benar.”
“Tetap
saja caranya salah.” Aku berkilah.
“Dan sebahagian dari mereka
sebenarnya menjadi korban dari penjahat pemerintahan. Mereka diancam kalau
tidak melakukan perintah mereka. Setelah mereka melakukan apa yang diminta oleh
penjahat-penjahat itu, mereka dibuang. Mereka dikambing hitamkan. Mereka ditertawakan. Malah tanpa rasa belas
kasihan penjahat-penjahat itu muncul kehadapan masyarakat dan mengatakan kalau
mereka telah menemukan mafia tersebut setelah mendapatkan semua apa yang mereka
inginkan dari mereka.”
Nafasku
tercekat dengan penjelasannya. Bukan karena kata-kata yang ia sampaikan. Tetapi
karena nada suaranya. Sangat dalam. Penuh kepedihan. Apalagi dengan sorot mata
hitamnya itu. Seakan-akan ingin menelanjangiku.
“Jadi
kalau mafia itu kabur untuk menyelamatkan diri, apa itu disebut salah?”
Tambahnya lagi.
Aku
menggeleng pelan.
Ia
tersenyum. Kemudian kami sama-sama menyeruput sisa minuman yang
telah dingin itu.
“Aku percaya kalau kebenaran itu pasti terkuak.” Ucapku
setelah beberapa menit tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Ia
kembali tersenyum. Senyum yang membuatku terus terpesona. Dan akhirnya menarik
bibirku untuk ikut tersenyum.
“Namamu siapa?”
“Marina.”
“Manis.
Semanis parasnya. Ok, sampai jumpa Marina. Senang telah mau menemaniku berceloteh.”
Aku
mengangguk. Kemudian kuamati langkahnya dari kaca kafe hingga punggungnya
menghilang di balik keramaian. Sampai akhirnya aku tersadar kalau aku belum
menanyakan siapa namanya, atau bahkan di mana ia bertempat tinggal di
Indonesia.
*
Minggu
pagi di Florida. Aku menghabiskan
waktu di perpustakaan. Melahap habis bacaan yang berkaitan dengan kriminal.
Tekadku sudah bulat, aku harus bisa seperti ayah. Malah harus lebih dari dia.
Sedang
asyik-asyiknya membaca, sebuah sms masuk ke handphoneku. Dari nomor tidak
dikenal.
Kau
bidadari kecil. Tak bersayap. Namun jemari pipih itu memaksa menuliskan ini.
Rambutmu sepundak, meruapkan keharuman bunga. Aku berharap pesanku sampai dan
terbaca dengan mata cahayamu. Aku
merindukan hitamnya. Namun kau harus tahu, terkadang keindahan mengundang tamu
terdekat membunuhmu!*
Aku
merinding membacanya. Nafasku melaju tidak beraturan. Selang beberapa waktu,
aku mendapatkan telepon dari Winny, sahabatku di Indonesia. Dengan cepat aku
bergegas keluar dari perpustakaan. Perasaanku benar-benar gundah. Aku yakin ini
berkaitan dengan sms yang barusan aku terima.
“Ada
apa?”
“Bencana
yang berat telah menimpa keluargamu. Aku tidak bisa bercerita banyak. Tontonlah
berita. Semua membahas masalah ini. Aku dicegah untuk memberitahumu. Tapi aku
nggak bisa. Kau harus tahu
masalah ini. Setelah menonton berita, kau jangan langsung pulang ke Indonesia.
Tetaplah di sana.” Suaranya terdengar resah. Tidak ceria seperti biasanya.
Badanku
seketika kaku. Ada apa ini? Kemarin waktu ayah menelepon dia
tidak mengatakan apa-apa. Lantas
kenapa Winny berkata seperti tadi? Tetapi dia tidak mungkin berbohong. Kami
sudah kenal dari kecil. Dia bukan hanya sahabatku, melainkan aku juga telah
menganggapnya sebagai saudara.
Dengan
langkah cepat, aku berlari menuju apartemenku yang tidak begitu jauh dari
kampus. Dalam
lima belas menit aku akhirnya tiba. Segera kubuka laptop dan membuka situs
berita Indonesia.
“Ihsan Sutyo, Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum ditangkap di kediaman beliau. Hal tersebut dilakukan karena beliau
terbukti sebagai tersangka yang membebaskan mafia hukum Rizky Hakim, yang
tengah bersembunyi keluar negeri dan hingga kini belum diketahui keberadaannya.
Beberapa pendapat juga mengatakan bahwa Ihsan Sutyo juga
terlibat sebagai mafia hukum yang menggelapkan dana Indonesia sebesar lima
triliun rupiah.”
Badanku
bergetar hebat. Sampai akhirnya air mataku tumpah tak terkendali. Semua situs
berita Indonesia yang kutonton sedang menampilkan masalah itu. Lalu dengan sisa
tenaga yang kumiliki, aku mencari tahu tentang Rizky Hakim, yang disebut
sebagai mafia hukum itu.
Pertahananku
roboh.
Aku menemukan wajah pria bersenyum manis itu.
Eva Riyanty Lubis
No comments:
Post a Comment