Dimuat di Harian Analisa Medan.
Rubrik Rabu.
Rabu, 17 Desember 2014.
Eva
Riyanty Lubis
Kalau aku boleh memilih, aku ingin
tidak dilahirkan dengan kondisi yang seperti ini. Kondisi yang membuatku merasa
tertekan dan terkekang. Tidak bebas melakukan apa yang aku mau. Padahal aku
ingin seperti gadis lain, terbang tinggi menembus angkasa. Berusaha menggapai
segala rasa yang meluap di dada.
“Nak, tolong belikan beras di warung Ibu Minta. Kamu
pasti sudah lapar kan, Sayang?” tanya wanita paruh baya itu. Raut wajahnya yang
sendu tidak melunturkan sedikit pun kecantikan di parasnya yang ayu.
Aku mendengus kesal. Namun sedetik kemudian kutatap
wajahnya. “Ngutang lagi?” tanyaku sinis. Kulihat dia menghela napas, panjang.
“Ibu
belum punya uang. Gorengan yang dijual hari ini tidak habis semua. Kamu bilang
sama Bu Minta, secepatnya akan ibu bayar. Bisa kan, Sayang? InsyaAllah Ibu akan
bayar secepatnya.”
“Kenapa
nggak Ibu aja sih yang ke sana? Ibu nggak lihat aku sedang mengerjakan tugas?
Ibu nggak pengertian banget sih?” aku memandang wanita paruh baya itu kesal.
Kemudian meletakkan pena di tanganku dengan kasar. Lalu kuhentakkan kakiku
keras di hadapannya menuju warung Bu Minta.
Kudengar
dia kembali menghela napas, panjang. Hal yang sering dia lakukan kalau aku
tidak mau menuruti ucapannya. Lebih tepatnya dia melakukan itu kalau dia merasa
sedih dan kesal. Ah, bukan salahku. Mereka yang telah melakukan ini semua
padaku. Mereka awal dari semua ini. Bukankah kalau tidak ada api maka asap juga
tidak akan ada?
*
Dua
tahun lalu, awal mula masalah ini. Saat
di mana aku merasa terombang-ambing. Padahal di kala itu anak seusiaku harusnya
merasakan indahnya hidup. Indahnya dimanja, dan indahnya kasih sayang.
Ayah dan
ibuku merupakan pasangan paling serasi kata orang. Pun kataku. Mereka berdua
keturunan keluarga terpandang. Ayah seorang dokter dan ibu seorang direktur
perusahaan ternama. Aku dipuaskan oleh segala macam harta. Apapun yang kumau,
pasti mereka akan mengabulkannya. Aku benar-benar merasa bangga dan bahagia.
Namun rasa itu tidak berlalungsung lama. Ternyata bukan itu yang kuinginkan.
Hal yang
lebih kuinginkan adalah kasih sayang. Ya, aku baru menyadari itu tatkala
mendapati teman-teman sekolahku yang sangat akrab dengan orang tuanya. Aku
cemburu dibuat mereka. Dan ketika itu yang paling kubutuhkan adalah cinta tulus
dari kedua orang tuaku.
Aku merupakan putri mereka satu-satunya, namun kenapa
begitu susah bagi mereka untuk memberikan perhatian kepadaku? Kadang kala aku
berusaha untuk memancing mereka agar mau bermain atau sekedar berjalan-jalan
bersamaku, meninggalkan sejenak rutinitas padat yang mereka kerjakan.
“Bu,
Ayah, kita jalan-jalan ke puncak, yuk….” Ajakku suatu hari.
Namun
apa yang kudapatkan?
“Ibu
sibuk, Sayang. Ada tamu penting yang akan datang ke kantor. Kami ingin mengadakan
kerja sama. Ini proyek luar biasa yang sudah Ibu tunggu-tunggu. Tidak bisa ditolak
sebab belum tentu ada kesempatan kedua. Kapan-kapan kita akan main kok. Atau
Naya main saya Bi Winny saja ya? Nanti Ibu yang bilang sama Bibi.”
Aku
benar-benar merasa sedih. Bukannya mereka sudah memiliki banyak harta? Bahkan
untuk tiga keturunan menurutku ini masih lebih dari cukup. Dia mengelus-elus
rambut panjangku sebelum melangkahkan kakinya dari rumah mewah yang penuh
dengan kesepian ini. Meninggalkanku yang masih mematung menatap kepergiannya.
Pun
begitu dengan ayah. Jawaban mereka hampir sama. Membuatku sedikit demi sedikit
merasa kesal dengan mereka.
Suatu
malam tatkala kami tengah makan bersama di ruang makan, ayah buka suara.
“Ayah
akan bercerai dengan Ibumu, Naya.”
Prakkkkkk!
Gelas yang baru saja menempel di bibirku akhirnya jatuh menyentuh meja dan
kemudian terguling ke lantai. Aku kaget bukan main. Dan kemudian kutatap ayah
dengan pandangan meminta penjelasan.
“Ayah
nggak bohong. Kita sudah tidak cocok lagi.”
“Iya, Naya. Kami akan berpisah. Kamu jangan sedih ya,
Sayang. Mungkin inilah yang terbaik untuk keluarga kita.” Tambah ibu. Ah,
mereka mengatakan seolah itu merupakan kalimat yang biasa diucapkan oleh orang
tua di depan anaknya.
Aku, gadis
berusia lima belas tahun yang tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa melongo.
Terkejut dengan semua kalimat yang mengucur mulus dari mulut mereka. Dan
lama-kelamaan barulah terasa begitu menyakitkan.
Beberapa
hari kemudian, aku mendapatkan semua jawaban dari keputusan mereka. Ternyata
ibu dan ayah menikah bukan berdasarkan cinta. Mereka dijodohkan oleh Oma.
Biasa, masih dengan masalah harta. Seperti kisah kebanyakan di sinetron.
Menyebalkan! Ah, dasar pemikiran orang tua masih sangat kampungan. Padahal
zaman sudah berubah. Aku benar-benar tidak habis pikir. Dan karena perbuatan
mereka, aku tepaksa harus bisa menerima semua kenyataan yang ada.
Ibu
mendapat hak asuh atas aku. Dan tak lama setelah perceraiaan, tersiar kabar
bahwa ayah sudah menikah dengan wanita pujaan hatinya sejak dulu. Guru SD. Status
sosialnya jauh di bawah ibu. Namun, kata ibu mereka hidup dengan bahagia. Pun
begitu dengan ibu, dia juga menikah dengan pria yang selama ini dia cintai.
Kamu tahu siapa? Mang Ujang. Lelaki paruh baya yang merupakan supir pribadi
ibu. Aku tidak habis pikir kenapa ini bisa terjadi. Dan aku benar-benar sulit
untuk menerima kenyataan ini.
Oma
tidak menerima pilihan ibu, alhasil ibu dipecat dari profesinya. Akhirnya Ibu
dan ayah tiriku memilih untuk tinggal di kampung. Tepatnya kampung halaman Mang
Ujang. Desa Sukamaju di Cirebon.
Sedikit
demi sedikit harta ibu pun habis. Untuk membantu
keuangan keluarga, akhirnya ibu harus rela berjual gorengan di depan rumah. Aih,
aku tidak menyangkan dia bahkan bisa melakukan hal seperti itu. Padahal dia
dulunya orang terpandang. Mungkinkah itu penunjukan rasa cintanya terhadap Mang
Ujang? Aku tidak tahu dan tidak begitu ingin mengetahuinya.
Malang nasib, baru beberapa bulan hidup bersama Mang
Ujang, ibu harus rela ditinggalkannya untuk selamanya. Mang Ujang telah
menghadap Ilahi. Padahal waktu itu dia hanya terkena demam biasa.
Kejadian
beruntun itu tetap tidak bisa membuatku dekat dengan dia, ibuku. Mungkin karena
rasa kesal masih berkarat di hatiku. Hingga kini.
*
Siang hari dengan terik matahari yang sangat menyengat,
aku melangkan kaki untuk berjalan-jalan menuju keramaian. Sekedar melihat orang
yang lalu lalang. Ingin melepaskan penat.
Dari sudut mataku, aku masih menemukan gadis itu. Gadis
berparas ayu, dengan kulit putih namun sedikit tak terurus. Agak dekil. Namun
kalau saja dia membersihkan penampilannya, aku yakin orang tidak akan
melepaskan pandangan dari dirinya. Senyum tulusnya tak pernah henti sepanjang
aku melihatnya.
Ya, sudah kuamati dia sejak kami pindah ke kampung ini.
Suaranya begitu merdu. Lalu meliuk-liuk ke sana kemari menyanyi di antara para
mengemudi kenderaan mengharap beberapa koin dari mereka. Kelihatan lebih banyak
yang tidak memberinya uang, namun meski begitu dia tetap tersenyum. Ah, aku
menyukai senyum gadis yang mungkin usianya sama denganku itu. Kapan aku
terakhir kali memberikan senyum seperti itu pada orang? Ah…. Aku tidak ingat.
Atau mungkin saja aku tidak pernah melakukannya.
Gadis itu, kusebut dia sebagai gadis matahari. Gadis yang bisa membuatku iri setengah mati.
*
“Aku kangen ayah.” Ucapku membuyarkan konsentrasi ibu
tatkala tengah asik menonton sinetron kesukaannya.
Dia menoleh kepadaku. “Ayah?” tanyanya mengulang.
“Ayah kandungku!” ucakku keras dan menekankan kata
terakhir yang membuat wajah wanita di depanku itu menjadi mengeras.
“Kamu tetap tidak bisa menerima kenyataan ini, Nay?”
tanyanya mulai serius.
“Entahlah.”
“Nay! Tatap mata ibu!” ucap ibu keras dan aku akhirnya
harus beradu pandang dengannya. Mata hitamnya bertemu dengan mata hitamku. Mata
yang dia warisi padaku.
“Kamu kurang penjelasan apa sih, Nay? Kamu sudah dewasa
dan harusnya kamu mengerti dengan kehidupan yang kita jalani ini. Kamu juga
harusnya peka dengan perasaan ibu.”
“Kenapa aku yang harus peka? Sedang ibu juga tidak pernah
peka kepada Nay. Ibu ingat kapan terakhir kali ibu mencium keningku? Ibu ingat
kapan terakhir kali ibu membawaku bermain? Ibu ingat kapan terkahir kali ibu
menghabiskan waktu denganku? Tidak! Ibu tidak ingat. Sebab ibu tidak pernah
melakukan itu padaku! Ibu egois!”
Wajah wanita itu mulai menegang. Mungkin terkejut dengan
ucapanku. Setelah sekian lama kalimat itu kupendam, akhirnya sekarang keluar
juga dari mulutku.
“Naya butuh kasih sayang dari Ibu dan Ayah. Berulang kali
Naya meminta hak Naya kepada kalian, namun kalian tak pernah menggubrisnya.
Malah menyuruhku main dengan Bi Winny. Aku anak Ibu, harusnya Ibu mengerti itu.
Dan di saat aku mulai memaklumi kesibukan kalian, kalian malah cerai. Dan Ibu
memilih nikah dengan supir kita. Harusnya Ibu sadar kalau itu sangat
menyakitkan bagiku!”
Kristal bening dari sudut mataku perlahan tumpah. Dan
dia, juga begitu.
“Ibu sayang sama kamu, Nay…..” ucapnya pelan. Hampir tak
terdengar karena isak tangisnya.
“Ibu nggak sayang sama Naya. Sebab
Ibu nggak pernah cinta sama Ayah. Mana mungkin ibu sayang sama Naya? Mungkin Ibu
juga pengen Naya pergi dari hidup ibu. Iya kan?” entah mengapa kalimat ini
meluncur dengan cepat dari bibirku.
Mungkin inilah akibatnya kalau terus memendam rasa. Dan
ketika rasa itu membuncah, akhirnya dia keluar dan menjadi sangat tidak
terkontrol.
***
Aku
duduk di tepian jalan siang itu. Lagi-lagi mengamati orang yang lalu-lalang. Hobby baru yang sekarang begitu kusukai.
“Aku
lihat kamu sering duduk di sini. Boleh aku duduk di sampingmu?“
Seseorang
membuyarkan lamunanku. Wow.... Dia, si gadis matahari. Aku sedikit terkejut.
Dia datang menghampiriku.
Aku menggangguk seraya memberinya
senyum tipis.
“Kamu tampak selalu kesepian. Apa
kamu tidak bahagia?” tanyanya dihiasi senyum tulus dari sudut bibirnya yang
mungil. Senyum yang bisa menggetarkan hatiku. Dan kemudian menarikku untuk ikut
dalam senyumannya.
“Hm…. Hidup ini indah, teman. Tuhan
itu baik. Jadi apa yang dia
berikan sekarang untuk kita, harusnya kita bisa mensyukurinya. Aku memang tidak
tahu masalahmu. Tapi aku ingin kamu jangan terlarut-larut dalam kesedihan atau
pun kesepian.“
“Aku dan
teman-temanku sejak kecil sudah tidak mempunyai orang tua. Dan kami di paksa
untuk mandiri. Bahkan kamu lihatkan bagaimana tubuhku? Tapi aku nggak mau menyerah.
Sebab masih banyak orang yang lebih menderita dibanding kami, namun mereka
tetap bisa bertahan. Dan aku ingin menjadi salah satu dari bagian mereka.“
Sungguh,
hatiku bergetar dengan semua penjelasaannya.
“Terima
semua dengan ikhlas apa yang ada pada dirimu sekarang, teman.“ Ucapnya masih
diakhiri dengan senyum khasnya. Setelah itu dia menepuk pundakku dan kemudian
berdiri meninggalkanku.
Semangat
terus menyelimuti diri gadis itu. Ya,
bahkan dia tidak peduli dengan kondisi fisiknya. Terseok-seok melangkahkan
kakinya.
***
“Aku
minta maaf, Bu. Aku sayang padamu, Bu. Maafkan aku karena keegoisanku selama
ini. Aku sudah banyak membuatmu menderita. Padahal tanpamu, Bu, mana bisa aku
tumbuh hingga seperti ini? Aku ingin menebus semua kesalahanku. Bisakah kita
memulainya dari awal, Bu?“
***
Aku
berlari menuju tempat biasa gadis matahari itu mencari kepingan logam. Aku
ingin menyampaikan kabar gembira padanya. Aku ingin mengatakan kalau hubunganku
dengan ibu sudah membaik.
Namun seketika aku terperangah. Tubuhku diam membeku.
Keringat dingin mulai mengucur setetes demi setetes di tubuhku. Mulutku pun seperti
terkunci. Ya Tuhan, gadis matahari itu terbaring kaku di jalanan. Tubuhnya
remuk oleh sebuah kendaraan. Darah berceceran di
mana-mana. Tak ada satu pun yang menolong. Hanya melihat sekilas, lalu kemudian
pergi. []
0 Comments