Ibu Sempurna di Mataku.
Harian Analisa Medan.
Rubrik Taman Remaja Pelajar.
Minggu, 18 Desember 2016.
IBU SEMPURNA DI MATAKU
Eva Riyanty Lubis
Surga berada di bawah telapak kaki ibu. Ungkapan yang
sangat indah dan tepat yang diberikan kepada wanita luar biasa dalam
menjalankan eksistensinya di dunia ini. Sosok yang berperan sebagai ibu rumah
tangga, namun tidak jarang juga kita dapati mereka berperan ganda yaitu sebagai
pencari nafkah. Sungguh sangat luar biasa.
Ibu,
wanita paling cantik bagiku. Kecantikannya
mengalahkan para miss universe atau
bahkan aktris Hollywood sekalipun.
Ibu,
wanita paling baik hati bagiku. Kebaikan hatinya mengalahkan para hero yang sudah terkenal di dunia ini.
Batman, Spiderman, Superman, Ben 10, atau apapun itu. Semuanya, kalah!
Ibu, wanita paling pintar bagiku. Dibanding guru sekalipun. Sebab kalau bukan karena dia,
aku tidak akan bisa tumbuh hingga seperti ini.
Ibu,
wanita paling tangguh bagiku. Dia
tetap bisa bertahan meski berbagai macam masalah datang silih berganti
menimpanya. Dan dia masih bisa tersenyum di balik kesedihannya. Aku ingat kalau
aku menanyakan kabarnya, dia selalu mengatakan kalau dia baik-baik saja. Meski
dia mempunyai masalah sekali pun. Oh, Ibu. C’mon,
aku juga ingin mendengar keluh kesahmu. Kita berbagi bersama.
Ibu,
wanita yang kusebut sebagai malaikat tanpa sayap. Dialah penolong di kala aku
susah dan ketika mengalami kesulitan. Dia selalu ada kapan pun aku mau. Bahkan ketika
jam sudah menunjukkan pukul dini hari, dia masih siap sedia mendengar keluh
kesahku. Padahal itu waktunya untuk beristiharat dari berbagai macam aktivitas
padat yang telah ia lakukan.
Kusimpulkan
bahwa ibu adalah wanita paling sempurna di mataku. Dan dia tidak akan pernah
tergantikan, sampai kapan pun.
*
01
Nopember 2010. Aku kehilangan seorang ayah. Seorang imam dalam keluarga kami.
Hal itu mau tak mau membuat kami sedih. Sedikit hampa karena kehilangan. Namun
dengan keyakinan penuh, ibu berdiri di depan kami. Kobaran semangat bisa
kulihat dari dirinya.
“Tanpa
ayah, kita juga pasti bisa. Kalian harus yakin itu. Tetapi kalian dan ibu harus
saling menguatkan. Bukankah nabi kita juga seorang yatim? Bahkan piatu. Tapi
dia tidak bersedih. Ingatlah, Nak, semua yang ada di dunia ini tidak ada yang
kekal. Cepat atau lambat Dia akan mengambilnya kembali. Karena kita merupakan
milikNya.”
Ibu
terus-menerus berusaha menguatkan kami. Mengesampingkan perasaanya yang juga merasa
sedih dan kehilangan.
*
“Ibu,
aku ingin kuliah. Semua teman-temanku kuliah. Aku cemburu pada mereka,” ucapku
suatu hari.
Ibu
memandangku dengan mata teduhnya. “Tapi kamu kan kerja. Apa kamu bisa bagi waktu?”
Dengan
mantap aku menganggukkan kepala. “Tapi aku nggak punya uang lagi, Bu,” ucapku
lagi.
“Berapa
uang yang harus diperlukan?”
“Rp
1.450.000.”
Jumlah
segitu merupakan uang yang sangat banyak bagi keluarga kami. Sebenarnya aku
tahu ibu tidak punya uang. Tapi waktu pendaftaran kuliah gelombang terakhir pada
salah satu kampus di kotaku tinggal beberapa hari lagi. Bila aku tidak
mendaftar, maka habislah kesempatanku dan aku harus kembali menunggu tahun
depan. Aku tidak memilih kampus lain karena hanya kampus ini yang biayanya
paling murah.
Dengan egosinya kupaksa ibu mencari uang sebanyak itu.
Terakhir
barulah aku ketahui, bahwa uang yang diberikan ibu kepadaku adalah hasil
penjualan anting adik perempuanku yang paling kecil.
*
“Bagaimana
kuliahmu?” tanya ibu suatu hari.
Aku keringat dingin. Sebab aku sudah tidak pernah lagi
masuk ke kampus itu. Hanya sebulan aku menjadi mahasiswa. Aku mendapat
peringatan dari tempat kerja karena terlalu sering permisi. Dan akhirnya aku
memilih untuk berhenti kuliah. Aku belum menceritakan hal itu kepada ibu,
karena aku takut beliau marah. Secara tiba-tiba ibu
datang menghampiriku. Sangat dekat.
Kukira ibu akan memukulku, ternyata yang terjadi di luar dugaanku. Sebuah
pelukan hangat. Ya Tuhan... begitu hangat dan menentramkan hatiku.
“Kamu
pindah kampus kan, Sayang? Semalam kamu daftar di sekolah teknik, kan?
Syukurlah ada kelas malamnya. Pokoknya, Ibu percaya kamu. Dan kamu jangan
pernah menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada.”
Mataku
berkaca-kaca dan perlahan kristal bening itu pun luruh.
“Maafkan
aku, Bu. Uang ibu jadi terbuang sia-sia. Harusnya aku tidak buru-buru dalam
mengambil keputusan.”
Ibu
tersenyum manis. “Belum rezeki, Nak.”
*
“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga
sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari
dunia.”
Ibu sempurna
di mataku. Always love you, Mom.
Teruntuk malaikat tak bersayap
yang biasa kupanggil dengan sebutan umak.
0 Comments