How You Life Your Life

Cerpen Annida Online - JANGAN HAPUS MIMPIKU

Annida Online, 14 Juli 2011.



JANGAN HAPUS MIMPIKU

Eva Riyanty Lubis

            

Waktu itu aku masih berusia sembilan tahun.

Malam terakhir bersama ayah. Duduk berdua di depan televisi sambil memberi kritikan atas apa yang kami tonton.

            “Ayah, filmnya seru. Keren luar biasa. Beda dengan film Indonesia yang selalu menunjukkan harta. Nggak mutu,” aku mulai berkomentar.

            Ayah tersenyum. Manis. Sesekali rambut keritingku dielusnya. “Itulah perbedaan film luar dengan film kita. Kita masih jauh tertinggal, Nak. Kalau Hollywood buat film, itu nggak tanggung-tanggung. Mereka membuatnya secara total. Harus sempurna. Meski mengeluarkan biaya banyak.” Jelas ayah kemudian. Matanya kemudian beralih ke layar televisi, melihat aksi Angelina Jolie dengan pistol di tangannya.

            Aku mengangguk. Seolah paham.

            “Imel pengen buat film, Yah.”

            Ayah langsung memutar wajahnya kembali kearahku. Tertawa kacil.

            “Ouhhh.... Anakku ingin jadi artis?” Mukanya tampak berseri sambil mencubit pipiku yang tembem.

            “Bukan,” sahutku sambil manyun.

            “Lalu?” Ayah bertanya dengan raut penasaran yang dibuat-buat.

            Kemudian aku menjawab dengan malu-malu, “Imel pengen nulis dan buat film, Ayah.”

            Ayah tercengang. Lalu kemudian tersenyum dengan senyum khasnya. Gigi putihnya tampak berderet rapi. “Hebat. Luar biasa. Ayah dukung cita-citamu, Nak. Kelak Ayak akan jadi orang pertama yang melihat dan menonton film buatan Imel.”

            “Janji?” Tanyaku sambil memberikan ujung kelingkingku. Ayah membalasnya. Kami tersenyum. Kemudian larut dalam mimpiku beberapa tahun ke depan.

            

Ketika aku tamat SMA, saat usiaku delapan belas tahun.

            “Bu, Imel pengen sekolah di IKJ, Jakarta.” Kataku waktu aku dan ibu sedang makan malam berdua di ruang makan.

            “Sekolah apa itu?” Tanya ibu tanpa menoleh sedikitpun kearahku.

            “Institut Kesenian Jakarta. Imel pengen jadi sutradara, Bu.” Jawabku.

            “Apa? Nggak! Ibu nggak setuju. Kamu di Medan ini aja. Kampus disini banyak. Lagian Ibu pengen kamu jadi penerus Ibu. Mengelola butik kita. Nggak usah jadi sutradara. Masa depannya nggak cerah.” Ibu menetapku tajam.

            “Tapi Imel pengen jadi sutradara, Bu. Imel pengen buat film.” Aku memelas.

            “Sekali nggak, tetap nggak.” Ibu tampak mengancamku.

            Aku menghela napas. Panjang.

            “Aku pengen menggapai mimpiku, Bu.” Tambahku lagi.

            “Kamu bandel banget sih dibilangin. Ibu sudah bilang, Ibu nggak setuju! Kamu nggak ngerti bahasa Indonesia?” Ibu membentakku. Napasnya nampak naik turun tak beraturan. “Kamu mau jadi anak durhaka, Mel?”

            “Nggak. Maaf, Bu.” Kutundukkan pandanganku ke bawah. Tak kuasa melihat tatapan Ibu.

            Ayah meninggal ketika aku berusia sepuluh tahun. Sungguh, itu hal paling menyakitkan yang pernah kualami. Aku bahkan hampir gila. Karena dia satu-satunya orang yang paling kusayang di muka bumi ini. Sebenarnya aku juga sayang kepada ibu. Hanya saja waktu kami untuk bertemu tak begitu sering. Ibu terlalu sibuk dengan usaha butiknya.

            Lima tahun menikah, ayah kena PHK dari perusahaannya. Akhirnya ibu mengambil alih tugas ayah. Membuka usaha. Memang pada dasarnya ibu merupakan orang yang berada. Sedang ayah dari keluarga pas-pasan. Sering terjadi percekcokan karena hal itu.

            Pernah aku mengatakan ini pada ibu. “Ayah udah janji ngijinin Imel buat jadi sutradara, Bu.”

            “Ibu nggak peduli. Lagian Ayahmu udah ada di alam lain. Dia nggak akan ingat janjinya, Mel. Yang ada juga hantunya yang muncul, kamu mau?” Ibu nyolot.

            “Ibu apa-apaan sih?” Aku menatap ibu kesal. “Bu, Imel pengen banggain Ayah.”

            “Dan kamu juga harus banggain Ibu. Kamu jadi anak musti nurut sama Ibu!” Ibu membentakku.

            Tubuhku bergetar. Lidahku kelu mendengar pernyataan ibu.

“Jangan sekali-kali menentang Ibu. Ibu nggak suka. Kalau menentang Ibu, kamu akan tahu akibatnya. Dan mungkin kamu akan bernasib sama dengan Ayahmu.”

            Aku memandang ibu dengan perasaan kesal. Lagi-lagi memojokkan ayah. Padahal ayah tidak bersalah. Ayah sakit, terkena diabetes. Dan ibu tidak pernah peduli. Ya, karena ayah pengangguran. Ibu yang seharusnya salah. Tapi ibu tidak pernah mengakuinya. Selalu merasa berkuasa dengan materi yang dia miliki.

@@@

            “Bu, Imel tetap mau ke Jakarta.” Ucapku membuat wajahnya menegang.

“Nggak boleh.” Sahutnya cepat kemudian kembali berkutat dengan pekerjaan yang tengah ia kerjakan.

            “Bu, percaya padaku. Aku bisa sukses jadi sutradara. Aku nggak mau ngurus butik, Bu.”

            Plakkk....

            Tamparan keras menghantam pipiku.

            Muka ibu memerah. “Kalau bukan karena butik itu, kamu nggak akan bisa merasakan semua fasilitas yang ibu berikan. Kamu pikir itu uang dari mana? Kamu pikir Ayahmu meninggalkan warisan? NGGAK! Malah utang yang dia tinggalkan. Bersikap dewasalah, Mel. Lupakan mimpimu!”

            @@@

            Malam itu, dengan modal tabungan yang tersisa, aku memantapkan langkah untuk pergi ke Jakarta. Pastinya tanpa sepengetahuan ibu.


No comments:

Post a Comment