Eva
Riyanty Lubis
Ketika bersamamu, waktu terkikis begitu cepat. Apa benar
kebersamaan sering melenakan? Ya, mungkin saja. Yang harus kamu tahu, bahwa seberapa
besar aku percaya padamu, adalah seberapa besar kutitipkan cinta pada hatimu.
Maka, jangan pernah kecewakan aku. Jangan kamu lupakan atau sia-siakan hati
yang telah kuberi. Lagian kamu juga telah bersumpah dihadapanku. Kamu beri aku
tujuh sumpah. Dan sumpah itu sudah melekat pada diriku. Lekat. Aku dan dia
menjadi satu.
Bagiku, kamulah yang telah menghangatkan pagi. Kamu juga
menyalakan hari. Bersamamu aku tak pernah takut pada apapun. Di sampingmu
sepertinya semua terasa mudah dan tak ada masalah. Jadi, bisa kusimpulkan bahwa
kamu adalah salah satu anugerah terbesar di dalam hidupku.
“Kamu selalu pandai merangkai kata,” ujarmu jika aku mengungkapkan
rasa yang ada pada diriku. Sebenarnya tak pernah ada niat dalam hatiku untuk
bermetafora padamu. Entahlah. Kalimat demi kalimat tak terduga itu selalu
muncul tanpa kuperintah. Spontan.
“Aku hanya mengungkapkan apa yang tengah aku rasa. Bukankah kamu
juga tahu kalau aku bukanlah tipikal orang yang pandai menyembunyikan
perasaan?”
“Ya, Sayang. Ya. Aku tahu,” jawabmu dengan senyuman manis yang
selalu kunantikan. Belaian lembut jemarimu di wajahku membuatku merasa nyaman,
terlindungi dan dicintai.
Sadarkah kamu kalau ini kali pertama aku merasakan hal seluar
biasa ini? Rasa yang membuatku bersemangat melakukan apapun. Tak takut pada
apapun. Satu keinginan terbesarku saat ini, bisa hidup bersamamu secepatnya.
***
“Nur, Bapak ingin bicara denganmu,”
tukas lelaki paruh baya itu ketika mendapati aku tengah asyik dengan gadget di ruang tamu. Aku memandang
Bapak beberapa detik sebelum menganggukkan kepala. Dengan langkah pelan,
kuikuti Bapak yang memilih untuk duduk di teras rumah. Salah satu tempat
favorit beliau di rumah ini.
“Bapak mau bilang apa?” tanyaku
setelah ambil posisi duduk di samping Bapak. Hanya ada meja kecil sebagai
penghalang di antara kami.
Bapak mengembuskan rokoknya sedalam
mungkin. Membiarkanku menerka-nerka seputar ucapan yang hendak beliau utarakan.
Bapak adalah sosok lelaki yang tak banyak basa-basi. Berbicara seperlunya saja.
Dulu aku sempat membenci sikap Bapak. Namun seiring berjalannya waktu, barulah
aku mengerti bahwa Bapak memang demikian adanya.
“Sudah sejauh apa hubunganmu dengan
si Bambang, Nur?”
Pertanyaan dengan nada pelan dari
bibir Bapak tersebut berhasil membuat pandanganku menjadi fokus sepenuhnya
kepada beliau. Selama ini, Bapak tidak pernah komentar seputar urusan asmaraku.
Lagian, aku juga sudah dewasa. Usiaku saja sudah jalan dua enam. Kini, aku
bekerja di salah satu perusahaan swasta terkemuka di kota tempat aku lahir dan
dibesarkan, Padangsidimpuan—Sumatera Utara.
Aku mulai menjalin hubungan dengan
beberapa lelaki sejak duduk di bangku sekolah tingkat atas. Tidak pernah ada
hubungan yang awet. Paling lama hanya dua bulan. Begitu seterusnya sebelum aku
bertemu dengan Bambang.
Bambang, wartawan muda dari kota
Medan yang ditugaskan di kotaku ini. Dia lebih tua setahun dariku. Parasnya tak
begitu luar biasa. Penghasilannya juga. Mungkin kalau dibandingkan denganku,
gajiku lebih banyak dari pada dia. Lantas, mengapa aku bisa menitipkan hati
padanya?
Cinta terkadang tak bisa ditafsirkan
dengan kata-kata. Begitulah Bambang padaku. Dia bukanlah lelaki romantis.
Bahkan bisa dibilang dia mirip dengan Bapak. Tentu saja dengan tambahan
pembuktian cinta yang sangat luar biasa padaku.
Dua tahun sudah kami lalui bersama.
Berawal dari perkenalan singkat di salah satu toko buku yang ada di kotaku. Saat
itu aku tengah mencari buku resep makanan, sedangkan dia sibuk dengan buku motivasi.
Dan ucapan “Hai” mengantarkan kami ke tahap selanjutnya.
“Nur?”
“Seperti yang Bapak lihat. Kita
serius menjalani hubungan ini,” ucapku dengan penuh keyakinan.
“Kamu mencintainya?”
“Tentu saja, Pak. Kalau Nur tidak
mencintainya, tidak mungkin kami bisa tetap bersama. Bapak tahu sendiri
bagaimana Nur sebelumnya,” sahutku dibarengi senyuman. Sebenarnya agak canggung
berbicara dengan Bapak dengan topik asmara seperti ini. Biasanya, aku hanya
bercerita kepada Ibu. Pada Ibu, aku bisa menumpahkan segala rasa. Ibu juga
dengan senang hati menjadi pendengar setia sekaligus pemberi nasehat nomor satu
untukku.
Ibu adalah puisi abadi yang tak akan
pernah kutemukan di dalam buku. Ah, betapa kumerindukan Ibu. Memikirkannya
selalu membuat hatiku pilu. Ibu, cintaku, malaikatku, memutuskan untuk pergi
menghadapNya empat bulan yang lalu. Meninggalkan aku, abang—satu-satunya
saudaraku yang telah menikah dan kini tinggal di Kota Batam—, dan Bapak.
Awalnya aku gamang bagaimana
seharusnya aku melanjutkan hidup tanpa Ibu. Namun, Bambang selalu ada disisiku.
Memberi kekuatan dan keyakinan bahwa ini adalah jalan terbaik yang harus
kuhadapi.
“Kamu bisa melalui ini semua,
Sayang.”
“Tidak… tidak… aku tak sanggup,”
ucapku dengan air mata berderai kala itu.
“Kamu jauh lebih kuat dari apa yang
kamu duga. Aku tahu kamu, Sayang. Jangan menyerah sebab itu bisa membunuh
jiwamu.”
Aku harus menata hati dan
kehidupanku setelah kepergian Ibu. Kepergian mendadak tanpa ada sakit apalagi
pamit. Tentu saja bukan hanya aku yang merasa kehilangan. Bapak juga demikian.
Dia semakin diam dalam diamnya. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di
dalam satu atap. Berbicara seperlunya saja. Saling larut dalam pikiran
masing-masing.
Satu yang aku tahu pasti, Bapak
mencintai Ibu teramat sangat.
“Kalau kamu mencintainya, begitu
juga dia padamu, maka bersegeralah untuk menikah.”
“Pasti, Pak. Kita telah membicarakan
itu. Selama ini kita juga tengah menabung untuk mempersiapkan segalanya.”
“Ya. Itu bagus. Bapak tak sabar ingin
melihat kamu bahagia.”
Sungguh, begitu terharu aku
mendengar ucapan Bapak.
“Nur juga ingin Bapak bahagia.
Sejujurnya Nur merasa bersalah sebab merasa menjadi orang yang paling
kehilangan atas kepergian Ibu. Padahal Bapak juga merasakan hal yang sama.”
“Semua yang bernyawa akan kembali
padaNya, Nur.”
“Tapi…”
“Bapak ingin kamu bahagia. Sudah
saatnya, Nur. Sudah saatnya.”
“Kalau Nur bahagia, apa Bapak juga
bahagia?”
“Tentu saja,” jawab Bapak dengan
senyuman yang membuat hatiku bergetar.
Ya Tuhan… betapa bersyukurnya aku
masih ada Bapak dan Bambang di sisiku. Tanpa kuduga, kristal bening itu luruh
juga.
“Maafkan Bapak tidak bisa menjadi
Bapak yang baik untukmu. Bapak tidak seperti Ibu yang bisa memberimu kasih
sayang penuh.”
“Jangan berkata seperti itu, Pak,”
sahutku tak suka. Bapak adalah Bapak. Begitulah beliau.
“Nur sayang Bapak,” ujarku tulus.
Bapak menganggukkan kepala.
“Masuklah ke dalam Nur. Malam sudah
semakin dingin. Besok pagi kamu masih harus bekerja.”
“Baiklah, Pak. Bapak juga jangan
kelamaan duduk di teras. Nanti masuk angin. Lagian bukan Nur saja yang besok
harus kerja. Bapak juga,” jawabku mengingatkan.
***
Aku dan Bambang tengah duduk
berhadapan. Kami memutuskan untuk makan malam bersama. Aku memperhatikan wajah
lelakiku itu dengan seksama. Bahkan
melihatnya sedemikian dekat sudah membuat rasa bahagiaku membuncah.
“Hayooo… jangan dilihatin terus
akunya.”
“Habis aku kangen,” jawabku jujur.
“Iya, Sayang. Aku tahu. Maaf
membuatmu menunggu sampai berhari-hari.”
Kami memang tidak bertemu beberapa
hari belakangan ini sebab dia harus kembali ke kota Medan. Katanya ada urusan pekerjaan.
“Sebenarnya seminggu merupakan waktu
yang cukup lama. Tapi karena sekarang kamu udah ada di depanku, jadi tak ada
yang perlu dipermasalahkan lagi,” ucapku singkat.
Beberapa detik kemudian, pramusaji
hadir di antara kami bersama makanan yang telah dipesan.
“Makan yang banyak. Aku nggak suka
lihat kamu makin kurus.”
“Kan aku diet, Sayang. Kamu lupa
kalau aku pengen dihari pernikahan kita, aku jadi perempuan tercantik?”
“Tanpa diet pun kamu tetap menjadi
perempuan tercantik di mataku.”
“Sudah pandai ngegombal ya
sekarang?” ledekku senang.
“Kan belajar dari kamu,” jawab
Bambang tak mau kalah.
“Sayang, boleh aku minta sesuatu
darimu?”
“Tentu saja. Apa itu?”
“Aku ingin kita menikah secepatnya.”
***
7 Sumpah itu masih melekat. Di hati
bahkan di dinding kamarku.
1.
Aku mencintai dan menginginkanmu,
Nur.
2.
Hanya kamu.
3.
Hanya kamu.
4.
Hanya kamu.
5.
Hanya kamu.
6.
Hanya kamu.
7.
Hanya kamu selamanya.
Cinta memang sering kali dibodohi dengan kata-kata. Mana yang mesti kupercaya? Kata atau mata?
“Nur, jangan melamun terus. Yuk sarapan dengan Bapak. Bapak masak
nasi goreng spesial untuk kita berdua.”
Dan ternyata hingga kini, cinta sejati hanya kutemukan dari kedua
orangtuaku. []
Padangsidimpuan, September 2015.
0 Comments