Seiring berjalannya waktu, minat baca anak
kian rendah. Hal tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh orang tua yang
lebih senang memanjakan anak dengan barang-barang elektronik dari pada
buku bacaan. Sedangkan aktivitas mendongeng ketika anak-anak hendak tidur di
malam hari tidak lagi dilakukan oleh orang tua. Alasannya beragam. Lelah karena bekerja seharian, tidak terbiasa mendongeng, dan sebagainya.
Sehingga ketika anak-anak ditanya buku apa
saja yang sudah mereka baca selain buku pelajaran, jawabannya bisa jadi membuat
hati kita teriris. Belum lagi kalau kita tanya seputar pahlawan atau nama-nama
nabi. Mereka belum tentu bisa menjawab.
Anak-anak tak lagi memiliki memori tentang
bacaan. Walaupun hampir semua sekolah memiliki perpustakaan, namun pihak
pengajarnya belum mengajarkan anak-anak untuk cinta baca. Kalaupun ada
anak-anak yang suka membaca, bacaanya tidak dikawal, tidak diperhatikan dan
cenderung diabaikan. Sedangkan perpustakaan didirikan seolah-olah hanya sebagai
pelengkap fasilitas sekolah.
Masih lekat di ingatan saya ketika saya duduk
di bangku sekolah dasar dan saya tertarik untuk meminjam buku di perpustakaan,
yang ada malah saya tidak diizinkan untuk membaca buku tersebut. Alasannya
karena pihak sekolah takut kalau saya meminjam buku, nantinya kondisi buku yang
saya pinjam tidak lagi bagus. Karena hal itu, saya dan teman-teman yang
lain memilih untuk meminjam buku di taman bacaan. Di sana, kami bebas memilih
bacaan apa yang kami mau. Saat itu kami belum mengerti mana bacaan yang baik
dan pantas dibaca untuk anak seusia kami.
Apa yang saya rasakan dulu masih terjadi
hingga sekarang ini. Anak-anak tumbuh dan berkembang dengan apa yang mereka
baca tanpa sepengetahuan guru dan orang tua. Ketika tingkah laku anak-anak
salah dimata mereka, bukannya dinasehati dan diarahkan ke jalan yang benar,
anak-anak malah dimarahi bahkan sampai menggunakan kalimat kasar.
Hal itu jualah yang membuat hubungan anak
dengan guru—di sekolah—atau anak dengan orang tua tidak harmonis. Sehingga di
sekolah, yang mereka yakini hanya sekadar bagaimana mendapat nilai yang baik.
Sebenarnya sekarang ini sudah banyak buku
yang terbit khusus untuk anak-anak. Ditulis dengan bahasa ringan sesuai usia mereka. Anak-anak diajak masuk dalam imajinasi dan dunia yang dikisahkan
penulis, dengan disisipi pesan untuk mendapat pembinaan watak yang baik.
Contohnya buku-buku anak karya penulis Indonesia, Watiek Ideo; Indahnya Negeriku, Kisah Seru Hari Penting Sedunia, Jangan Panik 20 Cerita Saat Situasi Darurat, Kumpulan Cerita Anak Kreatif, dan masih banyak judul lainnya.
Ketika membaca buku tersebut, pelan-pelan
anak akan menangkap maksud cerita yang mengandung nilai moralitas dan kebaikan.
Peranan
Orang tua
![]() |
Bersama orang tua mileneal. 💗 |
Orang tua sudah pasti berperan penting dalam
hal ini. Buku harus dijadikan sebagai teman anak. Bukan alat elektronik yang
lebih banyak efek negatifnya bagi anak-anak. Boleh saja anak-anak menggunakan gadget, namun waktunya disesuaikan.
Misalnya ketika libur tiba, atau ketika tugas sekolah sudah selesai.
Penggunaanya pun harus dipantau dan diawasi. Zaman sekarang ini serbuan
teknologi yang semakin murah tak jarang membuat anak jadi kecanduan games dan hiburan lain di dalamnya.
Bila anak sudah kecanduan, seringkali mereka
susah untuk dikendalikan. Yang ada anak justru melawan dengan cara mereka
sendiri. Hal ini ditegaskan pula oleh Edward de Bono dalam bukunya THINK before
it’s late (2010 :82). “Perkembangan
komputer dengan kemampuan supernya, dalam mengolah informasi, telah memperburuk
permasalahan yang ada. Apa yang terjadi jika seorang anak yang masih sangat
muda diberi komputer? Mereka mengembangkan kebiasaan mencari jawaban yang
mereka butuhkan. Mereka tidak perlu lagi berpikir, mereka hanya mencari
jawabannya.”
Pihak Sekolah dan Pemerintah
![]() |
Gambaran Winny Khodijah |
Buku-buku di perpustakaan cenderung hanya
itu-itu saja. Padahal semakin banyak buku, anak-anak akan semakin suka dan
penasaran. Apalagi jika cover dan isi di dalamnya menarik. Kebanyakan pengurus
perpustakaan hanya memenuhi tugasnya sebagai pengurus administrasi semata.
Mereka tidak memberi rekomendasi, saran, atau cerita menarik yang pantas dibaca
anak-anak. Sewajarnya pengurus perpustakaan pun harus dipilih yang benar-benar
kompeten dibidangnya. Dia bisa memenuhi tugasnya sekaligus memang mencintai
bacaan.
Sedangkan pemerintah belum juga mengurusi
secara konsisten tentang bacaan anak dan menumbuhkan semangat membaca pada
anak. Mereka lebih suka mengurusi buku pelajaran. Seolah nasib anak bergantung
pada buku pelajaran. Anak-anak memerlukan bacaan lain selain buku pelajaran.
Dengan membaca, anak-anak akan dibangun jiwa dan karakternya. Hal itu juga
membuat mereka semangat bersekolah.
Harapan
![]() |
💗💗💗 |
Ada banyak cara
memotivasi anak-anak agar cinta membaca. Contohnya dengan cara mendongeng
dengan buku bergambar yang gambarnya menarik, sering-sering membaca buku di
depan anak, minimal dua kali dalam
sebulan orang tua membawa anaknya ke toko buku, update buku-buku di perpustakaan, dekorasi perpustakaan semenarik
mungkin, menjelaskan betapa banyaknya manfaat yang didapatkan bila membaca
buku, memberikan penghargaan atau hadiah bila anak gemar membaca, dan
masih banyak lainnya.
Orang tua,
guru, dan pemerintah harus saling bekerja sama untuk mengatasi masalah ini.
Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Anak-anak harus
‘diselamatkan’ sekarang juga! Tentu kita tidak ingin hanya karena kelalaian
kita, anak-anak menjadi tumbuh berkembang tidak seperti yang kita harapkan.
Eva Riyanty Lubis - September 2015.
2 Comments
Peran orang tua memang penting dalam mengenalkan buku bacaan pada anak ya. Di rumah Alhamdulillah anak2 terbiasa dibacakan buku sebelum tidur bahkan di waktu santai. Setelah agak besar Mereka benar2 suka membaca tanpa perlu diajarkan..
ReplyDeletealhamdulillah, Mbak. Senang sekali mendengar orangtua yang peduli akan anak, salah satu caranya ya seperti ini ^^
Delete