![]() |
pixabay.com |
Harian Waspada Rubrik Cemerlang. Minggu, 30 November 2018.
Eva Riyanty Lubis
“Besok aku pulang kampung. Mungkin akan menetap selamanya
disana. Kamu ikut, Merlyn?”
Sosok
lelaki bertubuh tambun itu tampak melongo.
“Kanua[1]
nggak salah? Kanua sudah jadi orang
terkenal di Jakarta ini. Masa mau kembali ke kampung Simirik yang jadul itu? Gimana
dengan kelanjutan mimpi kanua yang
mau go International?” Merlyn menatap
gadis cantik di hadapannya tanpa berkedip.
“Aku capek, Merlyn. Aku kangen kampung,” ucap gadis
itu pelan.
“Untuk mendapatkan uang ya musti capek. Gimana sih kanua? Akika[2]
juga banting tulang tau!” Merlyn menatap gadis itu kesal.
“Uang bukan segalanya. Harusnya kamu ngerti itu!”
gadis itu membentak Merlyn dan kemudian berlalu dari hadapannya.
“Deeeevv!!! Jangan pergi! Kontrak kita belum habis!” teriak Merlyn. Sayang,
gadis manis itu telah menghilang di balik pintu.
Sejak tamat SMA, Devi diboyong Merlyn, pemilik music production terkemuka di Jakarta.
Sebenarnya Merlyn juga berasal dari kampung Simirik. Hanya saja sejak ia
sukses, ia tidak lagi mengakui kampung Simirik sebagai kampung halamannya.
Ketika itu Devi sedang bermain gitar sembari bernyanyi, Merlyn
yang kebetulan lewat di depan Devi, langsung tertarik dan mengajak Devi bekerja
sama. Awalnya Devi menolak. Tetapi karena paksaaan bapak, akhirnya Devi
mengiyakan tawaran Merlyn.
Kampung Simirik
Devi menginjakkan kakinya di kampung yang telah lima
tahun ia tinggalkan. Masih sama seperti dulu. Hamparan sawah yang tengah
menguning menyambut kedatangan Devi. Devi tersenyum dalam hati. Beberapa menit
kemudian bocah- bocah kecil serta teman sepermainannya dulu datang menyerbunya.
Mereka adalah Riski, Juliana, Basuki, Fitri, dan
Mara.
Ya, mereka teman Devi. Teman senasib seperjuangan yang Devi
tinggalkan. Mereka berpelukan. Tertawa bersama-sama. Sampai tidak sadar kalau
mereka masih berada di pinggir jalan.
“Deviiiiiii!!!”
Devi menoleh ke arah datangnya suara.
“Kak Lamtiur, Kak Butet,” seru Devi sumringah.
“Wah…. Ternyata benaran kamu. Kamu dah besar ya. Makin
cakep. Suer dah, aku aja sama Butet tadi kebingungan. Takut salah orang. Gimana
di Jakarta? Katanya kamu udah jadi musisi terkenal? Wih, kirain nggak mau lagi
pulang kampung,” Kak Lamtiur mengoceh panjang lebar. Sedangkan Kak Butet hanya
angguk-angguk kepala.
Devi tersenyum manis. “Kak, Devi kan asli dari kampung. Devi
bukan kacang lupa kulitnya.”
“Ok, ok. Kami percaya sama kamu. Nanti kita harus
foto-foto. Adek-adekmu di rumah pada ngefans
sama kamu. Sanalah cepat ke rumah. Mereka pasti kaget melihat artis terkenal
pulang kampung.”
Devi tersenyum manis.
“Teman-teman, reuniannya kita sambung nanti aja ya. Devi udah kangen ama Emak dan Bapak. Nggak apa-apa kan?”
*
Devi memandang rumah megah di hadapannya. Ya, rumah
termegah di kampung Simirik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang
ia tinggalkan lima tahun lalu.
“Assalamua’laikum.”
“Waa’laikumsalam.
Tunggu sebentar....” teriak
seseorang dari balik pintu.
“Deviiii?” Emak menatap putri sulungnya nanar. Matanya
seketika berkaca-kaca. Dan keduanya berpelukan dengan erat. Menumpahkan rasa
rindu yang tidak terbendung.
“Devi?” kemudian seseorang memanggil Devi.
Devi melepaskan melukannya dari emak lalu beralih kepada
lelaki tua yang tak jauh dari hadapannya. Devi bersimpuh di kaki lelaki itu.
“Pak, Devi udah nggak kuat. Devi pengen jadi orang biasa.
Devi kangen masa-masa dulu,”
“Tidak bisa! Kamu harus kembali ke Jakarta. Kamu harus
tetap menjadi penyanyi! Jangan sia-siakan kesempatan emas ini, Devi! Bapak udah
bilang, ini bukan waktunya kamu menghentikan karirmu,” bentak Bapak.
Devi bangkit dan menatap bapaknya dengan sendu.
“Devi capek, Pak.”
“Keputusan Bapak sudah bulat. Kamu kembali ke Jakarta!”
“Sudahlah, Pak. Biarkan Devi memustuskan jalan hidupnya
sendiri. Dia sudah dewasa,” ujar emak buka suara.
“Alah.... Kamu jangan bela dia. Kamu masih pengen
dibelikan mobil terbaru kan? Kalau Devi nggak kerja, kita nggak akan punya!
Makanya suruh anakmu itu kembali ke Jakarta. Kalau semua apa yang kita inginkan
udah ada, baru dia boleh pulang!” Bapak menatap Devi tajam.
Hati Devi benar-benar teriris. Apa yang dia pikirkan
ternyata benar. Orang tuanya gila harta. Dan dia yang menjadi korban. Memang
sejak kecil Bapak tidak begitu suka dengan Devi. Katanya sejak Devi lahir,
kehidupan mereka menjadi susah.
“Bapak benar-benar egois. Nggak pernah mikirin perasaan Devi!”
benta Devi membuat bapak naik pitam dan hendak mendaratkan tangannya ke pipi
mulus Devi.
Untunglah Salsabila muncul dari balik pintu. Akhirnya bapak
tidak jadi melaksanakan aksi gilanya.
“Nak Salsabila,” ucap Bapak kikuk.
“Maaf Mak, Pak. Salsabila datang di saat nggak
tepat.” Gadis ayu itu hendak berbalik pulang. Wajahnya benar-benar pucat pasi.
Mungkin tidak menyangka akan apa yang dia lihat barusan.
“Oh, tidak ada apa-apa kok. Ada apa gerangan? Eh,
duduk dulu, Nak. Moso di pintu aja,” emak
mempersilahkan Salsabila duduk. Tetapi gadis itu tetap berdiri.
Devi menatap Salsabila tajam. Begitu juga
sebaliknya.
“Ada berita apa toh?” Tanya bapak.
“Langsung aja, Salsabila ngundang Emak sama Bapak ke
acara pernikahan Salsabila hari Minggu.” wajah gadis itu merona merah.
“Lah, kok tiba-tiba? Siapa yang beruntung
mendapatkan hatimu, Nak?” Ujar Emak antusias.
“Budi.” Jawab
Salsabila malu-malu sambil menundukkan wajahnya.
Devi yang sedari tadi masih berdiri di hadapan mereka
seketika shock.
“Budi nggak mungkin nikah sama kamu!” bentak Devi
tiba-tiba.
“Tapi faktanya demikian!” Salsabila mencibir Devi.
“Mak, Pak, Salsabila pulang aja ya. Di sini gerah banget. Jangan lupa datang ke
pesta Salsabila.”
Dulu Devi dan Salsabila merupakan sahabat karib. Tetapi
sejak Budi menyatakan cinta pada Devi, Salsabila mulai membenci Devi.
Setelah Salsabila pergi, Bapak kembali melakukan
serangannya.
“Kau sudah dengar, Devi? Kampung Simirik bukan tempatmu
lagi. Pulanglah ke Jakarta. Lakukan kegiatan sebagaimana yang kau lakukan lima
tahun terakhir ini. Buat Mak dan Bapak bangga,”
“Jadi sampai sekarang kalian tidak pernah bangga padaku?
Aku berjuang di perantauan demi kalian. Hanya kalian,” air mata yang
menggantung di sudut mata Devi akhirnya tumpah.
“Izinkan aku disini. Walau hanya sehari. Aku benar-benar
ingin di sini. Aku rindu kampung ini,” Devi memelas.
*
“Apa kau bahagia, Budi?”
“Ya, aku bahagia berjumpa denganmu, Devi.”
“Tidak, kau memilih Salsabila, orang yang sangat
membenciku. Padahal aku masih setia padamu.”
“Kupikir kau tidak mau lagi pulang ke sini.”
“Ini kampungku. Asalku. Tidak akan pernah kulupakan.”
“Tapi kau sudah menjadi penyanyi terkenal. Tidak layak
bersanding denganku.”
“Ah, kau terlalu banyak alasan. Padahal kau juga tahu isi
hatiku padamu.” Desah Devi.
“Tapi....”
“Kau berubah. Padahal kau salah satu alasanku untuk
kembali kesini. Anyway, semoga kau
bahagia....”
*
“Maaaaak, Paaaaaaak. Kak Devi nggak ada di kamar.” Teriak
si bungsu, Ayumi.
*
“Kanua pasti
datang. Sudah akika duga. Kampung
bukan tempat yang layak bagi kanua.
Malam ini kanua ada show di Bandung. Semua sudah disiapkan.”
*
“Selamat malam untuk semua sahabat Devieee. Ini lagu
terbaru gue…. Khusus buat lo!”
Devi mulai memainkan gitarnya. Semua terhanyut dalam
melodi yang Devi nyanyikan.
is
anybody out there?
Hello! Hello!
Broken hearts like promises are left for lesser known’s
is anybody out there?
Alone! Alone!
Cause the coldest winters thrive[3]
*
Hello! Hello!
Broken hearts like promises are left for lesser known’s
is anybody out there?
Alone! Alone!
Cause the coldest winters thrive[3]
*
“Indonesia kembali menangis. Musisi yang baru saja naik
daun, Devi. Ditemukan tewas di kamar riasnya setelah beberapa jam selesai
melakukan pertunjukkan di Lapangan Sarapura, Bandung. Tidak ada tanda-tanda
aneh sebelum kepergiannya. Hanya saja, gadis yang mahir memainkan gitar itu,
biasanya menyanyikan lagu yang cenderung bahagia. Tiba-tiba di akhir pertunjukannya,
dia membawakan sebuah lagu baru yang terbilang sedih.” Ujar Aisyah, pembaca
berita WR TV.
0 Comments