![]() |
pixabay.com |
Harian Analisa Medan, Rubrik Rebana. Minggu, 12 Oktober 2014.
Eva Riyanty Lubis
Olin, begitu aku dipanggil. Sedang
nama lengkapku sendiri adalah Aulina Fazrina. Seorang perempuan berusia 22
tahun dan masih berstatus mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta. Aku
tinggal di Padangsidimpuan, kota kecil di Sumatera Utara. Kalau kamu tanya apa
impianku, aku ingin mengelilingi Indonesia, bahkan dunia. Aku selalu ingin
menikmati bentangan alam nan indah hadiah dari Sang Pencipta ini. Mungkin
bagimu itu terdengar mustahil. Apalagi aku bukan anak yang terlahir dari
pasangan kaya raya.
Asal kamu tahu, aku bahkan seorang
yatim. Memiliki tiga orang adik dan ibuku hanyalah seorang pedagang kelontong
kecil-kecilan. Namun seseorang tetap boleh bermimpikan? Dan aku selalu ingin
menggapai impian dengan caraku sendiri.
“Kamu yakin akan pergi ke Batam?”
Tanya emak[1]
khawatir.
Sejak bapak masih ada, aku sudah
sering melanglang buana sendiri kemana-mana. Sudah pasti dengan danaku sendiri.
Bisa dari hadiah perlombaan yang sering kuikuti atau jajan yang selalu kusisihkan.
“Mak, aku kan sudah sering
bepergian. Jadi Mak nggak usah khawatir.” Aku mencoba menenangkan emak.
“Ya Mak tahu. Tapi kita tidak ada
saudara di Batam, Olin. “
Memang biasanya aku jalan-jalan
sekalian mengunjungi saudara. Tapi aku sudah dewasa dan aku yakin bisa menjaga
diri.
“Olin bisa jaga diri, Mak. Mak
tenang aja.” Ucapku dibarengi sebuah senyuman tipis.
Sebenarnya Mak tahu, tujuan
kepergianku saat ini selain berjalan-jalan adalah menghilangkan rasa sedih
karena ditinggal pergi sang kekasih. Aria. Dengan teganya dia bermain di
belakangku. Padahal kami sudah bersama sejak masih SMP. Bahkan kami sudah bertunangan
dua bulan yang lalu.
*
Akhirnya malam ini aku berangkat
menuju Dumai dengan menaiki bus besar. Karena kotaku masih kota kecil, jadi
bandara belum ada disini. Makanya bus selalu menjadi pilihan utama jika hendak
pergi ke suatu tujuan.
Malam sudah menunjukkan pukul
sembilan ketika bus berangkat. Perlahan demi perlahan meninggalkan kota kecilku
bersama asa menyedihkan yang tadinya hinggap di dalam dada.
“Mau kemana, Dek?” Tanya perempuan
berwajah sendu yang duduk tepat di sampingku. Membuat aku tersadar kalau aku
memiliki teman sebangku yang kutaksir berusia empat puluh tahunan.
“Eh, mau ke Batam, Bu.” Jawabku seramah
mungkin.
“Panggil Kakak saja. Kakak juga mau
ke Batam.”
“Ohh baik, Kak.” Aku menganggukkan
kepala.
“Kakak hendak menemui suami kakak.
Dia merantau ke Batam lima tahun yang lalu. Namun sejak merantau, tak sekalipun
dia pulang menemui kakak dan anak-anaknya.” Tiba-tiba perempuan itu meluapkan
perasaannya padaku.
Aku pun mendengar cerita perempuan
itu dengan seksama. “Memangnya Kakak tinggal di mana? Padangsidimpuan juga?”
Tanyaku menyela.
“Kakak di Sibolga, Dek.”
Aku pun menganggukkan kepala lalu kakak
itu kembali menceritakan kisahnya.
“Kakak memang bersyukur karena suami
kakak selalu mengirimi kebutuhan materi kepada kami. Namun yang lebih penting
dari itu, Kakak ingin dia datang menjumpai kami, keluarganya. Kamu tahu Dek,
beberapa minggu yang lalu beredar kabar dari tetangga yang juga merantau di
Batam kalau Abangmu sudah memiliki istri lain di sana.” Suara kakak itu pun
berubah serak dengan air mata yang mulai menetes satu-persatu.
Aku terhenyak mendengar kisahnya.
Aku tidak memberi komentar apa-apa sebab aku tahu kakak itu hanya ingin berbagi
perasaan yang sedang dia alami padaku. Namun tiba-tiba saja di dalam hatiku
bersarang rasa benci mendalam kepada yang namanya kaum Adam.
Malam itu pikiranku melayang antara
Aria, kisah kakak yang duduk di sampingku, dan perjalanan yang hendak kulalui.
Ah, hidup memang tak selamanya indah seperti yang selalu dibayangkan. Aku
mendesah panjang sebelum mulai memejamkan mata sebab malampun sudah semakin
larut.
*
Pukul enam pagi, kami tiba di Dumai.
Sebuah kota yang menurutku tak jauh berbeda dengan Padangsidimpuan. Hanya saja
jauh lebih besar. Sekilas kulihat pengendara kendaraan yang begitu taat pada
lampu lalu lintas. Sangat berbeda dengan kotaku yang pengendaranya kebanyakan
selalu bertindak sesuka hati.
Setelah mobil berhenti di depan
loket, kami sebagai penumpang dipersilahkan untuk membeli tiket sesuai tujuan
masing-masing. Aku lihat rute yang dituju dari Dumai antara lain, Bengkalis,
Tanjung Buton, Selat Panjang, Tanjung Samak, Tanjung Balai Karimun, Batam, dan
Tanjung Pinang.
“Dek, tujuan kemana ini?” Tanya
Bapak-bapak berkumis yang bertugas menuliskan tiket.
Aku terkesiap karena keasyikan
membaca plakat besar yang tertempel di dinding ruangan itu.
“Tanjung Balai Karimun aja, Udak[2].”
Ucapku tiba-tiba.
Setelah membayarkan uang transportnya, tiket pun berada di dalam
genggamanku. Sebuah pilihan yang menurutku juga aneh. Awalnya aku hendak pergi
ke Batam, namun aku malah memutuskan untuk mengunjungi Tanjung Balai Karimun.
Tapi tak apa. Setiap perjalanan yang tidak direncakanan pasti akan memberikan
sensasi tersendiri. Dan aku ingin merasakan sensasi itu untuk pertama kalinya.
Lima belas menit kemudian, kami
dijemput dengan mobil jemputan kapal yang hendak kami naiki. Sebuah mini bus
yang sangat bersih.
Sesampainya di pelabuhan, penumpang
langsung digiring menuju kapal sesuai dengan yang tertera di tiket.
Perjalanan yang memakan waktu kurang
lebih delapan jam kuhabiskan dengan menonton film yang tersedia di depan mata.
Syukur saja filmnya sangat menarik dan membuat aku tak memejamkan mata
sedikitpun selama di dalam kapal.
Aku sampai di pelabuhan Tanjung
Balai Karimun dengan senyum mengembang. Dalam hati kutekatkan kalau perjalanan
ini akan menarik, semenarik perjalanan-perjalanan yang pernah kulalui. Aria pun
perlahan-lahan menghilang dari benakku.
“Ojek, Kak?” Seseorang menyapaku.
“Berapa?”
“Tujuannya kemana?” Tanyanya dengan
kening berkerut.
“Penginapan murah yang dekat dengan
pantai.”
“Ohhh.” Dan dia pun memberitahukan
tarif ongkosnya. Setelah tawar menawar disepakati, aku pun menaiki ojek
tersebut.
*
Aku mendapatkan penginapan minimalis
yang sangat bersih dan nyaman. Dari jendela kamarku, aku disuguhi pemandangan
pantai yang sangat indah. Membuat hati tak sabar untuk segera mendekati pantai
tersebut.
*
“Pantai apa yang ada di depan sana?”
Tanyaku sambil menunjuk pantai yang terbentang di depan mata kepada petugas
penjaga penginapan.
“Oh, itu namanya Pantai Coastal
Area. Tempatnya asyik. Apalagi kalau malam hari, pasti pengunjungnya banyak.”
Jelas lelaki itu dengan senyum ramah.
Aku menganggukkan kepala. “Makasih
kalau begitu, Pak. Saya ke sana dulu.” Ujarku undur diri.
“Selamat menikmati sunsetnya ya, Dek.” Ucapnya yang
membuatku kembali memberikan sebuah senyuman.
*
Momen istimewa yang ada di depan
mata kuabadikan ke dalam kameraku. Ah, rasanya menyenangkan sekali.
“Sendiri saja?” Tiba-tiba seseorang
mengagetkanku. Membuat aku menoleh kepada pemilik suara tersebut. Entah aku
harus bersyukur atau bersedih, karena ‘dia’ memiliki paras yang begitu rupawan.
Dengan tinggi kurang lebih seratus tujuh
puluh sentimeter dipadukan dengan tubuh yang kokoh. Pandangan matanya tajam,
hidungnya bangir, dan kulitnya hitam manis. Rambutnya yang tergolong panjang
melambai-lambai tertiup angin.
Mungkin karena dia sadar aku terus
memandanginya, dia memberikan senyumnya yang menurutku mematikan. Sial! Dia
sangat sempurna!
Lalu dia mengambil posisi duduk
tepat di sampingku.
“Namaku Raja.”
Aku mengalihkan pandangan darinya
menuju matahari yang hendak menghilang dari pandangan. Berusaha mengontrol
kinerja perasaanku yang bergetar tak menentu sejak pertama kali berpandangan
dengannya.
“Kamu lagi nggak punya teman makanya
datang mendekatiku?” Tanyaku ketus.
Raja terkekeh. Entah kenapa
kekehannya malah membuat jantungku semakin berdebar.
“Cewek itu nggak baik duduk seorang
diri di tempat seperti ini. Bagaimana kalau kamu digoda cowok?”
“Ya dan penggodanya itu kamu.”
Balasku lagi.
“Wow, kamu orang pertama yang
mengatakan kalau aku ini seorang penggoda. Biasanya aku yang selalu digoda.”
“Cih. Sok banget kamu ini.”
Dan itu adalah awal mula pertemanan
kami. Lalu dia dengan mudah membuat aku membuka hati, tersenyum bahkan tertawa
dengan guyonan-guyonannya. Menghilangkan rasa benci dan kesal kepada kaumnya
dengan mudah.
Raja, lelaki istimewa yang datang
ketika aku terpaku pada indahnya matahari yang tengah tenggelam di pelupuk mata.
*
Perjalananku lebih menyenangkan
karena Raja selalu setia bersamaku. Bak guide,
dia membawaku ke tempat-tempat eksotis lainnya di pulau yang menentramkan ini. Pantai Pongkar, Pantai Pelawan, Makam Orang Kuat
Karimun, Taman Budaya bukit Tembbok Moro, Mesjid Tua Pulau Biru dan Prasasti
Pasir Panjang Batu.
“Gimana pulauku ini? Keren banget
kan, Olin? Makanya kamu harus sering-sering kemari.”
“Iya iya. Kamu tenang aja.” Jawabku
dengan nasi yang masih penuh di dalam mulut.
Setelah selesai makan, Raja
mengantarkanku ke penginapan.
“Olin?”
“Ya, Raja?”
“Berjanjilan kalau kamu akan
menikmati hidup ini dengan penuh kebahagiaan.”
Aku mengerutkan kening sembari
terkikik. “Kamu ini apa-apaan sih. Omongannya ada-ada aja.”
“Kalau kamu ada masalah, kamu nggak
boleh putus asa. Percaya saja kalau Tuhan memberimu cobaan karena Dia yakin
kamu kuat untuk menjalani semuanya.”
“Iya, Raja. Puas?”
Kutemukan senyuman lebar di wajah
Raja. Senyum paling indah yang pernah kutemukan.
“Yaudah, kamu masuk gih. Udah sore.
Kita seharian udah jalan-jalan kesana kemari.”
“Padahal aku masih pengen duduk
berdua sama kamu di tepi pantai Coastal Area ini.” Jawabku dengan mulut manyun.
“Kamu udah capek, Olin. Sana mandi
terus istirahat.”
“Siap laksanakan, Komandan!” Sahutku
yang membuat Raja kerkekeh geli.
*
Senja masih terlihat kala aku telah
selesai mandi. Aku tetap bersemangat untuk melihat sunset. Tak pernah ada rasa bosan padahal tiga hari ini Raja selalu
setia bersamaku menikmati suasana indah itu.
“Mau kemana Dek?” Petugas penginapan
itu menghentikan langkahku.
“Ke depan Pak. Lihat sunset.” Jawabku dengan senyuman lebar.
“Maaf kalau Bapak menyela, selama
tiga hari ini adek pergi jalan-jalan bersama siapa?” Tanya Bapak itu dengan
wajah takut dan cemas.
“Oh, teman saya, Pak. Namanya Raja.
Orang sini juga.” Jawabku santai.
“Raja?”
Aku menganggukkan kepala dengan
mantap.
*
Senja menjadi sepi sebab Raja tak
muncul lagi di dekatku. Padahal aku sudah menantinya dua hari ini. Aku merutiku
diriku sendiri sebab aku tak tau banyak tentangnya. Rumah, nomor hape, bahkan
tak ada satu fotonya di kameraku. Padahal dia selalu setia mengabadikanku ke
dalam kamera. Lantas bagaimana caranya agar aku bisa menemukannya?
Atau aku harus percaya pada cerita
penjaga penginapan itu? Kalau Raja telah menghadap Yang Maha Kuasa tiga tahun
yang lalu? Bunuh diri ditinggal pergi sang pujaan hati. Di sini, di pantai
Coastal Area ketika senja tiba.
0 Comments