How You Life Your Life

Cerpen Harian Analisa - Sendiri

pixabay.com


Harian Analisa Medan, Rubrik Cerpen Puisi Rabu. Rabu, 22 Oktober 2014.
 
Eva Riyanty Lubis

            Gadis mungil itu berdiri di atas bukit Silayang-Layang. Pandangannya mengarah ke hamparan tak teratur kota Padangsidimpuan. Namun hanya matanya yang memandang. Sebab hatinya  sedang bergemuruh hebat. Berontak, atau kalau bisa dia hendak luruh dari diri gadis itu.
            Gadis itu menyilangkan kedua tangannya ke dalam dada, erat. Seolah-olah dia kedinginan. Meski panas tengah melanda kota kecil itu. Tapi, sesekali tubuhnya bergetar. Mungkin menahan isak yang selalu dipendam. Rambut lurusnya melambai-lambai tertiup angin. Tetap saja dia merasa sendiri. Walau sebenarnya dia berada di tempat yang sangat damai.
*
            “Ibu tak pernah menginginkan ini terjadi, Nak. Tak ada yang menginginkan ini terjadi. Ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kalian. Hanya kalian yang ibu punya di dunia ini.” Wanita paruh baya itu memeluk Indah erat.
            “Tapi seharusnya ibu bisa memilih keputusan yang lebih dewasa. Bukan seperti ini caranya, Bu. Kalau seperti ini aku dan adek Sarah yang akan tersiksa.” Ujar Indah sedih.
            “Ibu akan terus memperjuangkan kalian. Percayalah, Nak. Kita bertiga akan selalu bersama-sama.” Wanita itu meyakinkan putri sulungnya. Indah hanya mengangguk lemah. Meski dalam hati dia tidak meyakini ucapan wanita yang melahirkannya itu. Ya, untuk pertama kalinya dia kehilangan kepercayaan terhadap wanita itu.
*
            Malam itu pukul dua dini hari. Pintu berderit. Indah melihat ibunya berdiri tak jauh dari pintu.
            “Oh, Eka. Kamu belum tidur?” Ucap pria yang barusan hendak masuk secara pelan-pelan ke dalam rumah. Namun sayang, wanita itu sudah mengetahui aksinya. Jadi pria itu terlanjur tertangkap basah. Ya, seperti itulah reaksi yang dapat Indah baca.
            “Kamu pikir aku bisa tidur sementara kamu masih keluyuran tidak jelas di luar sana?” Tanya wanita itu dengan nada meninggi.
            “Ah, sudahlah Eka. Lebih baik kita tidur. Sudah lelah aku bertengkar denganmu.” Pria itu hendak merebahkan dirinya di atas kasur. Namun wanita di hadapannya itu langsung mencegat.
            “Aku muak dengan tingkahmu, Ikbal! Kau tidak pernah bersikap dewasa. Kita sudah menjadi suami istri. Anak kita sudah dua, Ikbal. Kumohon, jangan kembali bertingkah. Dewasalah, tak lama lagi anak gadis kita akan dewasa. Tidakkah kau merasa malu dengan ulahmu?” Jelas wanita itu panjang lebar.
            Pria itu tak menjawab. Hanya mendelik kesal. Kemudian berlalu meninggalkan wanita yang sudah meluruhkan kristal bening itu.
            Di balik pintu, Indah juga meluruhkan kristal bening. Deras. Namun hanya dalam diam.
*

            Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bercerai. Wanita yang melahirkan Indah tampak sangat terpukul. Namun dia mencoba tegar di hadapan kedua putrinya.
            Sepulang dari kantor pengadilan agama, Indah mengejar ayahnya.
            “Ayah,” ucap Indah memanggil ayahnya yang masih sibuk dengan pengacara pribadinya.
            Pria itu menoleh. “Kenapa, Ndah?” Tanya pria itu, dengan nada yang sama seperti sebelum semua ini benar-benar terjadi.
            “Ayah akan meninggalkan kami?” Tanya Indah sedih. Kala itu Indah masih kelas tiga SMA. Jiwanya masih sangat rapuh.
            “Ya, kalian bertiga akan bersama. Seperti yang kalian mau.”
            “Tapi, Yah…”
            “Tenang, Ndah. Ayah tidak akan lupa mengirimi uang untuk biaya sekolah kalian.”
            “Bukan itu Yah yang Indah maksud.” Ucap Indah memelas.
            “Oh iya, tenang aja. Ayah tidak akan mengganggu hidup kalian lagi. Pokoknya kamu tenang aja. Semuanya akan menjadi lebih baik.” Pria itu mengerlingkan matanya.
            “Ayah,” akhirnya air mata Indah keluar. Gadis itu terisak. “Indah sayang sama Ayah. Kenapa harus menceraikan ibu? Ayah sudah tidak sayang lagi sama Indah dan Sarah?” Tanya gadis itu kembali terisak. Tubuhnya benar-benar bergetar hebat.
            “Indah, tenanglah.” Pria itu memegang kedua pundak Indah. “Semua akan baik-baik saja. Tetaplah menjadi dirimu yang seperti biasanya. Dan satu lagi, kalau kamu rindu pada Ayah, katakan. Kita akan kembali bertemu. Dan mungkin secepatnya akan Ayah berikan ibu baru padamu.”
            Pria itu berlalu dari hadapan Indah.
            “Indah, kenapa kamu duduk di sini, Nak?” Ibu Indah mendapatkan putrinya terduduk di pinggir jalan.
            Indah terus menangis. Lalu wanita itu memeluknya erat.
            “Indah jangan nangis ya, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Kita ke dalam mobil yuk. Dek Sarah sama Bi Minah sudah nungguin kita dari tadi.”
*
            Malam-malam tanpa kehadiran seorang ayah membuat rumah megah bak istana itu terasa hampa. Indah merasakan itu. Sudah pasti dengan Sarah. Bocah imut itu sering menanyakan kenapa ayah tidak pernah lagi muncul di dalam rumah. Tidak bisa dipungkiri Eka juga merasakan hal yang sama.
            Indah sering memergoki ibunya termenung di atas meja dapur. Matanya menerawang entah ke mana. Seperti raga dan jiwa yang tidak bersatu lagi.
            Lamat laun kekacauan pun mulai terjadi. Eka tidak bisa menjalakankan bisnis kelapa sawit yang biasa dijalankan Ikbal. Perusahaan bangkrut seketika. Hutang di mana-mana. Bahkan rumah mereka tidak lama lagi akan disita.
            Eka mulai stress. Tidak lagi dia pikirkan Indah dan putrinya Sarah yang masih balita. Semua sudah tidak terurus. Bahkan dirinya pun tidak lagi secantik dulu. Parasnya yang menawan mulai kehilangan sinar. Begitu merana. Dan beberapa hari setelah itu, dia melampiaskan kekesalannya ke dalam lobang hitam. Lobang penuh dosa.
            “Ibu kenapa pulangnya selalu lama? Ibu nggak tahu apa ini sudah pukul sebelas malam? Apa kata tetangga kalau melihat ibu masuk rumah pukul segini?”
            “Ah, jangan urus ibu. Ibu sudah lelah. Ibu capek.”
            “Tapi bukan seperti ini caranya, Bu. Jangan mengulang kesalahan yang sama, Bu!” Indah membentak ibunya keras.
            “Oh…. Jadi sekarang kau sudah bisa membentak-bentak Ibu ya Indah? Kau pikir siapa yang memperjuangkanmu selama ini? Siapa yang membiayai sekolahmu? Ayahmu? Dia tidak pernah mengirim uang untuk kalian. Kau harusnya tau itu!”
            “Ibu belum bisa menjadi ibu yang baik. Harusnya walau Ayah sudah salah, ibu juga tidak melakukan hal yang seperti itu. Apa Ibu pikir Indah tidak tahu apa yang ibu lakukan di luar sana?”
            “Indah…”
            “Ibu selalu bilang kalau ayah tukang selingkuh. Tapi sebenarnya kalian sama!”
            “Indah…”
            “Kalian berdua membuat hati Indah tersayat, Bu.”
            “Indah…. Keluar dari rumah ini!”
*
            Gadis itu terlunta-lunta di jalanan. Tidak lagi sekolah. Apalagi bergabung dengan teman seusianya.
Indah harus berjuang demi hidupnya. Mengamen dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian dia bertemu dengan teman-teman yang senasib dengannya. Perlahan, senyumnya yang pudar mulai cerah kembali.
“Indah, aku mencintaimu.” Ujar Ihsan suatu hari. Cowok yang usianya tak jauh beda dengan Indah. Terlahir dari keluarga broken home yang membuatnya memilih untuk tinggal di jalanan. Merantau dari Medan ke Padangsidimpuan. Mencari kebebasan yang pernah terenggut dari hidupnya.
“Ah, aku tidak yakin padamu. Apa pula yang kamu tahu tentang cinta?” Tanya Indah memandang tajam ke arah Ihsan. Cowok yang sebenarnya sangat rupawan. Meski dia sudah menjadi anak jalanan, masih saja banyak anak berseragam putih abu-abu yang mencoba untuk merayunya.
“Cinta itu ketika hanya ada namamu di hatiku, Indah.”
“Gombalanmu nggak mempan, San.” Sahut Indah dibarengi tawa renyahnya.
“Aku nggak tahu cowok seperti apa yang kau inginkan untuk melindungimu, tapi jujur aku sangat ingin mendapatkan tempat itu di hatimu, Indah.”
Perlahan namun pasti, Indah luluh akan pesona Ihsan.
*
            Indah dilarikan ke rumah sakit. Terjadi pendarahan hebat. Menurut dokter Indah telah jatuh yang menyebabkan dia kehilangan janin dalam kandungannya.
            “Maafkan Ibu, Nak.”
            “Maafkan Ayah, Indah.”
            Kedua orang itu menggenggam tangan Indah lembut. Indah membuka matanya perlahan-lahan.
            “Indah, kamu sudah bangun?” Ujar Eka sembari menghapus air mata yang masih menempel di wajahnya.
            “Ketika aku sendiri… tak ada teman. Pada siapa aku harus mengadu? Sedang mereka sibuk dengan diri sendiri....” Ucap Indah terbata-bata sembari meluruhkan air matanya.
            Jantung Indah melemah. Mendadak kritis. Dan...
            “Indah… Indah… Indah…”

No comments:

Post a Comment