Tulisan Karya Eva Riyanty Lubis ini telah dimuat pada
Harian Medan Bisnis, Rubrik Art & Culture. Minggu, 07 Juli 2013.
***
“Ayah
harus mengusir semua anak jalanan yang berkeliaran di seputaran Jalan Sudirman.
Sungguh, mereka membuat jalanan menjadi semakin amburadul. Udah macet
panjangnya minta ampun, eh malah ditambah dengan kehadiran mereka.” Jelas ayah
panjang lebar dengan tampang kesal. Aku dan ibu tak menyahut, hanya saling
berpandangan beberapa detik. Kemudian melanjutkan makan malam kami yang malam
itu dipenuhi oleh khotbah ayah mengenai anak jalanan.
Namaku Shinta. Aku lahir dan di
besarkan dalam sebuah keluarga yang lumayan berkecukupan. Ayah seorang polisi dan ibu seorang pengusaha batik.
Mereka berdua merupakan orang yang sangat sibuk. Jarang kami bisa berkumpul
untuk makan malam seperti ini. Sayangnya setiap berjumpa, mereka tidak pernah
membahas tentang masalah keluarga ataupun tentang sekolahku. Selalu seputar
kondisi Indonesia. Jujur, kadang aku bosan mendengarnya. Aku sering merasa
kesepian.
“Menurut
ibu gimana tentang anak jalanan? Apa baiknya dimusnahkan saja? Ayah bisa
melakukan itu lho.” Ayah melirik ibu dan tampak sangat menanti jawaban dari
bibir tipis ibu.
Ibu
meletakkan sendok dan garpunya. Kemudian melipat kedua tangannya seperti yang
biasa dilakukan oleh anak SD ketika disuruh diam oleh gurunya. Lalu ibu
memandang ayah lekat. Aku yang juga penasaran juga mendongakkan wajahku ke arah
ibu.
“Sama,
Yah. Ibu juga tak suka anak jalanan. Mereka membuat Indonesia menjadi tampak
sangat kotor. Pengangguran semakin banyak. Kalau mereka kerja kan bagus.
Menambah sumber daya manusia. Ini malah nggak jelas. Gimana Indonesia ke
depannya kalau anak mudanya aja seperti itu?” Jelas ibu dengan semangat berapi-api. Membuat bibir ayah
mengembang tersenyum karena terlalu senang dengan jawaban ibu.
Jujur, aku mendengus kesal mendengar jawaban ibu. Mereka
berdua memang sama-sama tidak suka dengan anak jalanan. Bukan berarti aku juga
suka dengan anak jalanan itu lho. Tapi aku rasa mereka terlalu fanatik. Egois.
Sebab pasti ada alasan mengapa anak-anak jalanan itu memilih jalan hidup mereka
seperti itu.
*
Sepulang
sekolah aku memilih untuk naik kopaja. Aku menelpon Bang Tagor agar tidak usah
menjemputku seperti biasa. Entah kenapa hati kecilku menyuruhku untuk melihat
anak jalanan secara langsung. Aku ingin melihat bagaimana mereka sebenarnya.
Aku
sekolah di Depok. Sedang rumahku berada di Jakarta Selatan. Ketika bus berhenti
beberapa kali karena ada penumpang yang hendak turun, maka naiklah beberapa orang
pengamen. Dengan baju serba hitam. Gaya funklah.
Ada beberapa tindikan di wajah mereka. Aku sampai bergidik ngeri melihatnya.
Sedang mereka yang terdiri dari tiga orang itu hanya tersenyum sinis ke arahku.
Namun begitu, tetap saja aku memberanikan diri untuk memberikan mereka beberapa
lembar uang seribuan.
Tak tahan dengan tatapan mereka yang aku sendiri tidak
bisa mengartikannya, aku memilih untuk turun lebih cepat dari bus. Meski aku
tahu jarak untuk mencapai rumah masih sangat jauh. Paling
tidak aku sudah mendapatkan gambaran tentang pengamen itu. Mereka yang juga merupakan
anak jalanan.
Ketika
pikiranku masih berkutat tentang anak jalanan, tiba-tiba seseorang menjambret
tas sekolahku. Aku kaget dan langsung berteriak minta tolong.
“Jambreeeeeeeeet…. Jambreeeeeeeeeet….” Teriakku histeris. Namun para manusia
yang menatapku dengan tampang kasihan tidak ada yang bereaksi. Jelas-jelas mereka
hanya memberikan tatapan kasihan kepadaku.
Air
mataku pun meleleh. Sebenarnya bukan karena ada barang mahal atau berharga
lainnya di dalam tas itu. Namun ada dua buah novel yang baru kudapatkan
langsung dari penulisnya plus dengan tanda tangannya. Hadiah karena aku berhasil menjawab pertanyaan sang
penulis ketika seminar kepenulisan berlangsung beberapa hari lalu. Tadi pagi
aku memamerkannya kepada teman-teman dan mereka memang sangat cemburu melihat
hal itu. Membuatku tak henti-hentinya untuk terkikik.
Aku duduk di tepi jalan sambil menghapus sisa-sisa air
mata yang masih menempel di wajahku.
“Ini milikmu?”
Seseorang mengagetkanku. Aku menoleh ke samping dan
mendapati seorang pemuda yang menurutku usianya tak jauh beda denganku. Pemuda
dengan sorot mata tajam. Meski bajunya lusuh dan tubuhnya tampak sangat tidak
terurus, namun dia memiliki kharisma yang luar biasa. Seakan-akan langsung
menyihirku untuk tak henti menatapnya. Aku langsung berdiri dan kemudian
melihat tasku yang kini sudah ada di dalam genggamannya.
“Kamu nemuin tasku?” Tanyaku dengan memandangnya lekat.
“Kalau jalan hati-hati. Jangan kebanyakan bengong.”
Jawabnya cuek.
Aku terenyuh mendengar kalimatnya. Lalu menerima tasku
dengan perasaan tak menentu. “Makasih ya.” Ujarku tulus.
“Sama-sama.” Jawab pemudia itu seraya berbalik dan
berjalan meninggalkanku.
Aku yang bengong langsung mengejarnya.
“Hei, nama kamu siapa? Kamu anak jalanan ya?” Tanyaku
langsung tanpa melihat perubahan raut wajahnya yang tampak mengeras.
![]() |
Sumber: Pixabay |
Meski
pemuda itu tampak tidak senang denganku, aku tetap saja mencari tahu
keberadaannya. Dan kini, hampir setiap hari aku memilih untuk pulang ke rumah
dengan menaiki kopaja atau angkot. Aku tak perduli dengan ceramahan kedua orang
tuaku yang marah karena sikapku itu.
Lalu suatu hari aku berhasil menemukannya sedang
menjajakan beberapa botol minuman mineral kepada pengendara ketika lampu merah
sedang menyala. Dengan gesitnya dia meliuk kesana kemari. Aku sampai berdecak
kagum. Aku memandangnya lekat dari pinggiran jalan.
“Kamu
keren banget.” Tukasku jujur ketika dia berjalan menghampiriku.
“Kamu
maunya apa sih? Kamu hobby stalker
ya?” Tanyanya dengan jutek.
Aku
merengut kesal. Namun beberapa detik kemudian aku sudah menjulurkan tanganku ke
arahnya. “Namaku Shinta. Nama kamu siapa? Kita bisa jadi teman, kan?”
Pemuda
itu melirik sebentar. Masih dengan tampang juteknya. Tapi
dia mau juga membalas ucapanku. Meski
tidak mau bersalaman denganku. “Acem.”
“Wow,
nama yang unik. Kamu sudah lama jadi anak jalanan?”
Tanyaku kemudian.
Acem menatapku tajam. “Kamu kenapa sih nanya anak jalanan mulu dari kemarin?
Emang ada yang salah sama anak jalanan itu? Kamu rugi kalau aku jadi anak
jalanan? Nggak kan? Kamu nggak perlu urus apa yang aku kerjakan!” Jawabnya
dengan nada keras. Aku sampai kaget mendengar intonasinya. Jujur ini pertama
kalinya aku dibentak oleh cowok.
“Aku
hanya ingin tahu kenapa kamu memilih hidup sebagai anak jalanan.” Ucapku pelan.
Hampir tidak terdengar.
Acem
mendecak beberapa kali. “Jadi kamu pengen tahu bagaimana anak jalanan itu? Oke.
Akan kutunjukkan.”
Aku
mengangguk senang. “Makasih ya, Acem.” Jawabku sembari memberikan dia senyum
termanisku.
“Oke.
Dasar cewek bawel.” Ujarnya pelan.
“Kamu bilang apa tadi?” Selidikku karena aku yakin dia
sudah mengataiku.
“Nggak
bilang apa-apa.”
*
Setiap
pulang sekolah, Acem membawaku kemana pun dia pergi. Mengamen di dalam bus dan
menjajakan minuman di jalanan. Sungguh, awalnya berat. Malu kalau sampai
ketahuan sama keluarga dan teman-teman. Tapi aku benar-benar ingin tahu
bagaimana anak jalanan itu. Mengapa kedua orang tuaku sampai-sampai sangat
membenci mereka.
Dan yang
aku rasakan, menjadi anak jalanan itu tidak mudah. Butuh mental sekuat baja.
“Penghasilan
hari ini sangat dikit. Hanya lima belas ribu rupiah. Cuma cukup beli nasi satu
bungkus.” Jawab Acem pelan sambil menatap uang yang ada di dalam genggamannya
dengan tatapan tak menentu.
Aku menelan ludah, getir. Seperti inikah hidupnya? Sudah
seharian bekerja namun hanya mendapatkan lima belas ribu rupiah. Bahkan uang
itu hanya sepertiga dari jajanku setiap harinya.
“Untukmu saja.” Ucapnya sambil menyodorkan uang
seribuan itu.
Aku menggeleng cepat. “Itu uangmu.
Aku nggak berhak.”
Acem menatapku sebal. Namun akhirnya
dia tetap membeli nasi satu bungkus dan dua gelas air mineral.
“Makan di mana?” Tanyaku setelah dia tiba dari warteg. Lalu Acem membawaku
ke sebuah lapangan yang tampak dipenuhi oleh rumput yang sudah meninggi. Ada
sebuah pondok kecil di sudut lapangan itu. Dan disitulah kami kini. Rumah
mungil berukuran 1,5 x 1,5 meter. Sangat mungil. Dan jangan harapkan kamu bisa
mendapatkan perabotan di dalam rumah itu.
Acem menyuruhku memakan nasi bungkus yang dia beli.
Sedang dia sendiri hanya meminum minuman gelas itu. Aku sudah berkali-kali
menolak, namun dia tetap pada pendiriannya.
“Aku
bukan anak orang miskin. Kedua orangtuaku malah sangat kaya. Hanya saja aku
nggak tahan dengan sikap mereka. Mereka seolah menganggapku sebagai boneka. Aku
memang suka uang. Tapi aku lebih ingin mendapatkan kasih sayang dari mereka.
Itu yang kurindukan yang memang hingga kini tidak kudapatkan.”
Aku
menatap Acem nanar. Sungguh, aku juga merasakan hal yang sama. Lalu dia
melanjutkan kalimatnya tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.
“Di
jalanan, aku berjuang untuk hidupku sendiri. Meski nggak ada lagi yang perduli
padaku, aku akan terus berjuang. Sebab aku masih ingin merasakan hidup di dunia
ini.” Jawab Acem dengan diakhiri sebuah senyum yang sangat manis.
“Orang
selalu menganggap buruk kepada anak jalanan. Padahal aku yakin anak jalanan
punya potensi yang luar biasa. Jujur aku risih mendengar orang yang selalu
memandang remeh pada kaum kalian. Mau kuberi masukan?” Tanyaku sembari menatap Acem
penuh harap.
“Aku
tahu semua itu. Kamu mau kasih masukan apa? Perasaan kamu beruntung banget
karena sudah mendengar kisah hidupku.” Katanya kembali ke sifat juteknya. Aku
hanya terkikik.
“Membuat
sebuah perubahan. Kamu dan teman-temanmu pasti bisa melakukannya.” Aku
meyakinkan.
“Jujur, Acem.
Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Kedua orang tuaku selalu sibuk
dengan urusannya. Aku anak tunggal. Dan aku sering merasa kesepian. Tapi tetap
saja aku tidak bisa berontak seperti kamu. Karena aku pikir itu bukan solusi
yang bagus. Maka dari itu aku juga menyibukkan diriku dengan berbagai hal.
Karena aku percaya, semuanya akan indah pada waktuNya.”
*
Dua
bulan kemudian.
“Bu, akhir-akhir ini para anak jalanan udah mulai tidak
keliatan batang hidungnya di jalanan. Ada apa ya?” Tanya Ayah dengan wajah
ditekuk.
“Loh, bukannya Ayah senang dengan perubahan itu?” Aku
ambil suara. Mereka berdua menatapku tak percaya. Sebab dari dulu aku memang
tidak pernah ikut ambil suara ketika mereka mendiskusikan tentang anak jalanan.
“Anak
jalanan itu punya potensi yang besar, Ayah. Hanya perlu arahan dan bimbingan.
Harusnya Ayah dan semua yang bekerja di bidang pemerintahan lebih peka terhadap
mereka. Jangan malah selalu
berfikiran negatif.” Tambahku lagi menjelaskan.
Kedua
orang tuaku masih menatapku tak percaya.
*
Acem berhasil
menghimpun teman-temannya untuk berkumpul dan mendirikan rumah baca. Aku juga
berhasil memperkenalkan beberapa guru kesenian kepada mereka. Sebab beberapa di
antara mereka mahir dalam bermusik. Ada juga yang senang menjahit. Pokoknya
mereka itu sebenarnya sangat luar biasa.
Aku
selalu tak bisa menghentikan senyumku ketika melihat mereka fokus dengan
aktivitas barunya. Jadi teringat ucapanku dan Acem beberapa bulan lalu.
“Kamu
nggak mau dicap sebagai anak jalanan yang tak tau diri terus kan? Masyarakat
selalu berpikiran negatif tentang kalian. Urak-urakan, minum, judi, ngerampok,
dan sebagainya.”
“Aku
tidak seperti itu!”
“Makanya buat perubahan dong. Buat
perubahan yang bisa membuka mata rakyat Indonesia tentang kalian. Kalian bisa
melakukan yang terbaik meski latar hidup kalian sangat memprihatinkan.”
“Oke, siapa takut!”
*
Anak jalanan itu orang yang berjuang
demi hidup mereka. Apapun mereka lakukan di tengah kerasnya hidup. Bahkan bisa
berbuat kriminal. Sebab mereka sudah lama lupa kalau mereka sebenarnya masih
memiliki keluarga. Masih memiliki tempat bernaung. Tapi apa boleh buat, ada
beberapa keluarga yang sudah tidak peduli dengan kehadiran anak-anaknya
disebabkan kesibukan dunia.
Tapi sungguh, mereka bukannya tidak
bisa apa-apa. Mereka sebenarnya masih mempunyai bakat yang karena keadaan harus
mereka kubur jauh-jauh. Mereka sungguh berkompetensi. Banyak kok di antara
mereka yang berhasil membuktikan kalau jalanan juga bisa membawa mereka sukses.
Intinya masyarakat harus membuka mata lebar-lebar.
Terlebih dengan pemerintah. Mereka asset Negara. Sebab mereka merupakan para
pemuda yang nantinya akan meneruskan perjuangan bangsa ini.
*
Acem memandangiku
lekat. Tersenyum sangat manis. Di atas podium, dia menyampaikan kalimatnya yang
membuat kami meneteskan air mata. Acem, anak jalanan yang berhasil membuktikan
pada Indonesia kalau dia berhasil menjadi salah satu musisi muda berbakat di Indonesia.
0 Comments