Tulisan Karya Eva Riyanty Lubis ini telah dimuat pada
Harian Analisa, Rubrik
Rebana. Minggu, 12 Januari 2014.
***
Malam itu kamu hadir di hadapanku. Seperti biasa, kamu
selalu tampil dengan sangat cantik. Gaun merah polos selutut dipadukan dengan
cardigan hitam. Melekat dengan pas dibadanmu yang langsing. Lalu high hells dengan panjang kira-kira 15
sentimeter terpasang di kakimu yang jenjang. Rambut lurus panjangmu kamu
biarkan terurai indah. Sesekali kuliat angin merecoki rambutmu. Tapi itu
membuatmu semakin cantik di mataku.
“Bud,”
ucapmu pelan. Tapi bisa kusadari ada gores luka di sudut matamu. Nada suaramu
juga menyiratkan kecemasan mendalam. Ah, aku tidak pernah bisa melupakan
tatapan mata itu. Kedua bola mata terindah yang pernah kutemi.
“Ada
apa, Nisa? Untuk apa kamu datang ke rumahku?” Tanyaku karena kehadirannya yang
tiba-tiba. Ini kali pertama kami bertemu sejak putus hubungan lima tahun yang
lalu. Aku pikir aku telah salah menerima pesan beberapa jam yang lalu.
Kamu
menggelengkan kepalamu. Tiba-tiba saja ada kristal bening di kedua bola matamu.
Aku tercekat. Kaget. Apa ada sesuatu yang menyakitimu, Nisa? Aku tidak pernah
melihat hal seperti itu sebelumnya. Bahkan hingga kamu pergi meninggalkanku.
![]() |
pixabay.com |
Tapi,
angin apa yang telah membawamu datang ke rumah kecilku ini? Bagaimana kamu tahu kalau aku ada di sini? Dan tidakkah
kamu takut ketahuan olehnya? Ya, dia. Seseorang yang telah
merebutmu dariku. Ah, entahlah. Mungkin tidak pantas aku mengatakan atau
sekedar membayangkan perihal tersebut.
“Boleh aku masuk ke dalam rumahmu?” Tanyamu tidak
menjawab pertanyaanku.
Tiba-tiba
saja aku tersadar. Kami berdua masih berdiri di teras rumahku. “Oh iya.
Silahkan masuk.” Ucapku masih dengan nada pelan.
Kamu
melangkahkan kakimu dengan langkah bak model. Sangat anggun. Menyita seluruh
perhatianku. Seperti masa-masa dulu. Bayangan masa lalu tiba-tiba menghantui
pikiranku.
*
“Kamu
yang namanya Budi?”
Aku
mendongakkan wajah kemudian menemukan seorang cewek cantik telah berdiri cukup
dekat denganku. Aku sampai keringat dingin dibuatnya. Kaca mataku yang
seharusnya dalam kondisi pas di hidung, tiba-tiba saja menjadi longgar sehingga
aku harus berulang kali membetulkan letaknya.
Kamu
tersenyum. Sangat manis. Hatiku sampai bergetar di buatnya. Aku tahu siapa
kamu. Celia Khoirunnisa. Mahasiswi jurusan komunikasi. Idola mahasiswa di
kampus. Selain aktif di bidang sosial, kamu juga jago olahraga, enerjik dan
juga ramah. Dan sudah pasti sangat cantik.
“Budi….”
Kamu memandangku lebih dekat. Berusaha menyadarkanku yang masih melongo dengan
mimik ndesonya.
Aku
terkesiap. Menjauhkan wajahku darimu. Hal itu membuatmu tertawa kecil. Ah,
cantik sekali.
“A…
a… ada apa?” Tanyaku tergugu. Akhirnya
bisa juga keluar kalimat kecil itu dari mulutku. Aku berusaha sekuat mungkin
untuk menetralisir keadaan. Jujur, aku tidak ingin degupan jantungku yang
kencang menimbulkan keributan di dalam perpustakaan ini.
“Aku
dengar-dengar kamu itu seorang penulis ya?” Tanyamu dengan senyum ramah. Cowok
mana yang tidak bergetar hatinya di berikan senyum manis seperti itu?
Aku
tidak menjawab. Hanya memberikan anggukan ringan.
“Wow…. Great! Kamu bisa bantu aku nggak, Bud? Pleaseee….”
Kamu memelas dengan wajah penuh harap.
“Bantu a… apa, Nisa?” Tanyaku
kemudian.
“Bantu aku buat pidato dong. Aku butuh nih. Bisa kan, Bud?”
Melihat
wajahnya yang memelas, aku tak kuasa menolak. Lalu kuanggukkan kepalaku seraya
mencoba memberikan sebuah senyuman tipis padanya. Dia tersenyum lebar dan
berteriak kegirangan. Ibu perpustakaan sampai melerai kami. Tapi aku sangat
bahagia. Bahagia melihat dia bahagia. Rasa-rasanya pada hari itu aku adalah
cowok paling beruntung di dunia. Tuhan memang baik. Mengabulkan keinganku untuk
bisa melihatmu secara dekat. Aih, ini sudah kuidam-idamkan sejak lama. Aku...
aku mengagumimu.
Sejak
pertemuan pertama kami, aku dan dia mulai melakukan pertemuan-pertemuan
selanjutnya. Ada saja yang kami bahas. Aku juga ikut dalam kegiatan sosialnya.
Dan dia juga ikut dalam seminar-seminar kepenulisan yang selalu kuikuti.
Bersama Nisa, aku yang pendiam menjadi banyak bicara dan tersenyum.
Nisa
menularkan energy positif dalam
hidupku. Tidak bertemu sehari dengan dia saja rasa-rasanya hariku menjadi
hambar. Kami berjanji menjadi sahabat selamanya. Nisa yang mengatakan itu.
Padahal sungguh dalam hatiku, aku ingin memilikinya. Ah, pantaskah aku? Aku
hanya bisa tersenyum membayangkan itu.
Sudah
menjadi sahabatnya saja merupakan anugrah terindah dalam hidupku.
“Kamu
siapanya Nisa, hah? Asal kamu tahu ya. Saya cowoknya! Jangan dekati dia kalau
kamu masih ingin hidup bebas di kampus ini!”
Sandi
membentakku kala aku tengah asyik dengan buku-buku tekhnik di tanganku. Semua
penghuni perpustakaan memandang kami dengan penasaran. Ibu Mila sampai
memelototkan matanya padaku. Ah nyaliku seketika menciut. Aku tidak ada apa-apanya
dibanding cowok itu. Dia tampan dan kaya raya. Sedang aku, hanya seorang
manusia yang biasa-biasa saja.
Sejak
saat itu aku mulai menjauhi Nisa. Ah, sakit sekali perasaanku melakukan hal
tersebut. Harusnya aku lebih dewasa dan bisa melawan Sandi. Bukankah kami
memiliki hak dan dan kewajiban yang sama di kampus ini? Ya,
seharusnya aku tidak takut padanya. Pun kepada orang lain. Tapi bisakah aku?
Kalau bukan karena Nisa, mungkin aku masih menjadi mahasiswa yang kehadirannya
tidak pernah dinggap.
“Apa sih
yang kamu takutkan, Bud? Kenapa harus jadi orang pendiam? Kamu boleh saja nulis
semua apa yang ada di dalam pikiranmu, tapi bukankah akan lebih terasa lega
kalau kamu mengungkapkannya secara langsung? Ada hal-hal yang lebih baik
diungkapkan langsung ketimbang ditulis lho kalau menurut aku.”
Aku
hanya tersenyum malu mendengar ucapan Nisa kala itu. Dan detik itu juga aku
berjanji untuk mulai memberanikan diri buka suara. Aku ingin kehadiranku di
kampus dirasakan oleh mahasiswa lain. Jujur, sendiri itu sebenarnya tidak
pernah mengasikkan.
Beberapa
hari setelah Sandi mengancamku agar tidak berhubungan dengan Nisa, gadis cantik
itu malah muncul di teras rumahku.
“Kenapa
ngejauh dari aku sih, Bud? Aku ada salah sama kamu? Aku telpon nggak di angkat.
Di sms apa lagi. Aku cek di kelas kamu nggak pernah ada. Kamu ada masalah?”
Nisa memberiku pertanyaan bertubi-tubi. Dari sudut hatiku aku merasa kalau dia
benar-benar perhatian padaku. Dan aku senang akan hal itu.
Aku
menggelengkan kepala seraya memberikan senyum tipis padanya.
“Ih kamu
gitu banget sama aku. Kita kan sahabatan, masa kamu nggak mau jujur sama aku,
Bud? Atau perlu aku tanya sama ibu kamu?”
“Eh eh
jangan. Ibu lagi masak di dapur. Jangan di ganggu.”
“Ya
udah! Makanya
cerita.”
“Nggak ada apa-apa, Nisa.”
“Bohong!”
“Suer!”
“Sandi
bilang apa sama kamu?”
Brrr….
Tubuhku seperti disiram dengan air dingin. Kenapa Nisa bisa tahu?
“Udah
aku bilang. Aku ini sahabat kamu meski baru beberapa bulan. Jadi aku nggak suka
kalau kamu diemin aku. Aku bilangin ya Bud. Sandi itu memang pacar aku. Tapi
aku lebih percaya kamu dibanding dia. Oke! Ingat itu. Sahabat segala-galanya
bagi aku. Soalnya dapet sahabat itu susah!”
Ya
Tuhan…. Apa dia sadar dengan ucapannya? Ucapannya membuatku
melayang tinggi. Jauh. Begitu bahagia. Semua penat di dadaku mendadak sirna.
Hanya bahagia.
Setahun persahabatan kami, tiba-tiba
Nisa meninggalkanku. Tidak ada kata
perpisahan dari mulutnya. Yang aku tahu, dia sudah pergi. Meninggalkan aku,
kampus, Sandi, dan teman-temannya. Dan tidak ada seorang pun yang mau
memberitahukan keberadaannya padaku. Termasuk orang tuanya.
*