How You Life Your Life

[Cerpen] - Lelaki Beraroma Daun

Tulisan karya Eva Riyanty Lubis ini telah dimuat pada 
 Harian Medan Bisnis. Rubrik Art & Culture. Minggu, 09 Desember 2012.
***

Kamu, ya kamu. Lelaki beraroma daun. Harummu begitu menyeruak hidungku sehingga aku ingin selalu berada di sampingmu. Wajahmu pucat, namun tak sepucat Edward si vampire di Twilight. Matamu coklat gelap. Sangat kontras dengan kulit putih pucatmu.
            Tubuhmu tinggi, bak model. Rambutmu lurus dan terlihat memanjang. Jika tertiup angin, menjadi sangat indah dan berkilau. Sungguh, aku sangat ingin membelainya. Kau begitu berkharisma. Kuputuskan bahwa kamulah pangeranku. Pangeran tak berkuda. Walau kutahu tak pernah ada senyuman manis darimu untukku. Malah sorot mata tajammu yang selalu kau berikan. Seakan-akan kau hendak menelanku bulat-bulat. Tetapi, itu tak mengubah hasratku padamu. Sebab hatiku telah terpaut olehmu.

***
            Kampung itu adalah salah satu kampung di Sumatera Utara yang memiliki hutan. Sama seperti hutan lainnya. Hutan itu dulunya dipenuhi oleh berbagai macam jenis pohon, tumbuh-tumbuhan beserta hewan. Namun kini, tak ada lagi yang peduli dengan keindahan alam tersebut. Mereka malah merusaknya. Misalnya dengan melakukan penebangan liar yang kemudian menjual kayu-kayu itu ke kota. Bahkan tidak sedikit dari mereka melakukan perburuan hewan seperti burung, ular, monyet, rusa dan gajah. Bukankah semakin sering diburu mereka akan semakin cepat punah?
            “Kita harus membangun kampung ini lebih baik agar tidak tertinggal dengan kampung-kampung yang lain. Jangan mau dicap sebagai orang yang kampungan! Itu memalukan! Kita harus bangkit dan bersatu bersama-sama untuk membangun kampung kita ini menjadi sebuah kota besar.“
            Tepuk tangan membahana terdengar di ruangan berukuran 10x12 meter itu. Sebuah tempat yang dinamakan sopo godang[1], yang digunakan sebagai tempat rapat dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, pengajian bapak-bapak serta pengajian ibu-ibu, atau perayaan ulang tahun naposo naulibulung[2].
            Setelah suara riuh itu berakhir, tiba-tiba seseorang berdiri. Semua mata pun tertuju padanya. Lalu ia berujar, “apa yang akan kita lakukan dengan hutan kita itu Pak Kepala Lingkungan? Bukankah ia akan menghasilkan banyak uang untuk kita?”
            Pria yang disebut sebagai kepala lingkungan itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan lelaki yang baru menginjak dewasa itu.
            “Pertanyaan bagus. Ok. Untuk semua warga kampung ini, maksimalkan semua potensi yang ada di sini. Untuk hutan kita, kalian tetap bebas melakukan hal yang sudah biasa dilakukan.”
            Aku memandang mereka semua dengan keheranan. Bukankah seharusnya hutan itu dilindungi? Bukankah hutan yang menjadi paru-paru dunia ini? Kalau tidak ada hutan, maka banyaklah negara yang akan hancur. Ah... aku tidak habis pikir dengan tindakan dan cara pikir mereka. Namun mulutku belum mampu untuk berkata.
            Oh ya, namaku Putri Salsabella. Usiaku tujuh belas tahun. Harusnya kini aku duduk di bangku sekolah dan melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak diusiaku. Namun harapan dan keinginan tidaklah berjalan dengan mulus. Akan banyak didapatkan halangan dan rintangan. Hal itulah yang  mengharuskan kita untuk mengerti hidup ini.
            Seminggu yang lalu, Udak[3]Lubis atau yang dikenal dengan sebutan Pak Kepala Lingkungan membawaku ke kampung ini. Semula aku tinggal di Medan. Namun karena kedua orangtuaku meninggal dalam kecelakaan tempo hari, dan aku merupakan putri tunggal mereka, maka udak berinisiatif untuk membawaku ke kampung halamannya, yang juga kampung halaman bapak. Sebab hanya udaklah saudara bapak satu-satunya.
            Aku disambut dengan gembira oleh warga kampung, bahkan oleh Etek[4] Winny, istri udak. Dia menganggapku sebagai anaknya, sebab hingga kini mereka belum juga dikarui oleh anak. Padahal usia pernikahan mereka sudah mencapai empat belas tahun.

 
***
            Aku berjalan ke arah hutan. Kulihat beberapa warga sedang asyik melakukan penebangan pohon. Aku tetap tidak bisa berkata apa-apa. Namun sejujurnya hatiku perih tatkala melihat pohon-pohon itu tumbang.
            Aku berjalan terus sampai ke kedalaman hutan. Dan sanpailah aku pada sebuah tempat yang membuatku tercengang. Oh... betapa tidak, ini sungguh indah, lebih tepatnya menawan. Hamparan yang ditumbuhi oleh rumput-rumput hijau. Sebahagian dari rumput itu memiliki bunga dengan berbagai macam warna. Mulai dari merah, putih, kuning, dan merah muda.
            Aku bahkan tidak tega untuk menginjakkan kakiku di atasnya. Kemudian kicauan burung tiba-tiba terdengar. Bersahut-sahutan. Begitu merdu. Lalu dedaunan melambai-lambaikan tangannya. Aku sangat terkesima. Senyum di sudut bibirku pun terus mengambang. Aku merasa mereka sedang menyambut kedatanganku.
            “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
            Seseorang mengagetkanku. Aku berbalik ke arah datangnya suara itu. Seketika jantungku berdetak tidak menentu. Aliran darahku pun mungkin tidak berjalan sesuai semestinya. Lelaki yang sangat rupawan. Dan dia... beraroma daun.
            “....” Aku tergugu. Lelaki itu menatapku dengan sorot matanya yang tajam.
            “Kau juga ingin menghancurkan hutan ini? Dengar, tidak lama lagi kalian yang ada di kampung ini akan mendapatkan karma. Satu persatu dari kalian akan mati.”
            “Kau siapa berani mengatakan itu?” ucapku pelan. Namun nada khawatir tetap bersarang di tubuhku.
            “Kalian telah menghancurkan hutanku!” lelaki itu membentakku. Namun dari matanya, aku dapat merasakan suatu kekecewaan serta kesedihan.
***
            Malam itu Udak Lubis kembali mengelar pertemuan. Dan wajahnya kali ini tampak begitu sumringah.
            “Hutan kita akan dibeli oleh pengusaha kaya asal Medan. Dia hendak membangun perusahaan di sini. Pokoknya dia bilang, dia akan mengubah kampung kita ini menjadi sebuah kota. Kita akan kaya. Sebentar lagi sebutan kampung akan menghilang....”
            Mereka bertepuk tangan. Tertawa. Bahkan saling berpelukan. Aku terhenyak.
            “Hentikan, Udak! Kita tidak boleh menjual hutan itu. Dia berperan penting bagi kampung kita. Dialah sumber kekayaan kampung ini, penyedia air, penghasil oksigen, tempat flora dan fauna tumbuh, dan hutan itulah yang mencegah terjadinya pemanasan global. Kalau dijual, kita akan kehilangan itu semua, Udak!”
            “Kenapa sih segitu pengennya menjadikan kampung ini menjadi sebuah kota? Asal Udak tahu, orang-orang di kota aja pengen tinggal dan hidup di kampung. Kampung kita kaya, Udak. Dan kita tidak boleh menjual hutan itu! Kita harus melindunginya!”
            Kurasakan beberapa pasang mata menatapku dengan kilatan emosi.
            “Sudah untung kau kubawa ke sini. Dan sebagai balasannya kau malah menentang keputusanku? Harusnya kau duduk manis dan diam saja! Hah.... Kau anak tak tahu diuntung!”
            Air mataku hendak tumpah. Kugigit bibir bagian bawahku agar itu tidak terjadi.
            “Kalau hutan itu tidak dijaga, maka satu persatu dari warga ini akan mati!” aku menekankan kata “mati”. Sehingga tampak keterkejutan di wajah mereka.
            Namun sayang, tidak sedikitpun perkataanku berpengaruh kepada mereka. Sebelum hutan itu dijual, mereka hendak menebang seluruh pohon. Dan mereka semakin bersemangat melakukan itu.
            Karma itu terjadi. Beberapa hari setelah itu, satu persatu di antara mereka ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan.
***
            Aku berjalan dengan langkah terburu-buru. Aku hendak mencari lelaki beraroma daun itu. Beberapa kali aku terjerembab karena tersandung kayu. Pakaianku pun berubah menjadi lusuh. Tetapi itu tak menyusutkan semangatku untuk menemuinya. Kemudian aku berhasil menemukannya tepat di tempat pertama kali kami bertemu.
            Dia sedang tertidur. Dengan langkah pelan, aku duduk di sampingnya. Namun kehadiranku membuat matanya sedikit demi sedikit terbuka. Aku kembali melihat kesedihan di dalam matanya. Bahkan lebih parah dari pertama kali kulihat. Hatiku menjadi tersayat.
Aku tahu dia ingin mengeluarkan kata-kata, namun air matanya mewakili isi hatinya itu.
            Aku memeluknya, erat. Lalu menciumi matanya, mengeringkan air matanya yang bercucuran.
            “Jangan nangis lelakiku. Kaulah pangeranku. Belahan jiwaku. Pasanganku yang dipisahkan karena aku memilih dunia tak sama denganmu. Namun kini, hanya ada kita berdua. Kau tahu, kaulah yang selalu hadir di dalam  mimpiku. Kau jugalah yang membawaku kembali kepadamu. Jangan menangis lelakiku. Kau tak lagi sendirian. Aku akan ada selalu untukmu.”
            Beberapa menit kemudian, senjapun tiba. Dan hutan itu habis dilahap si jago merah.


[1] Aula.
[2] Naposo nauli bulung adalah suatu organisasi yang beranggotakan pemuda pemudi, yang memiliki berbagai macam fungsi salah satunya mengayomi masyarakat. Ini merupakan salah satu budaya masyarakat Mandailing.
[3] Adek ayah, paman.
[4] Tante, istri paman.

 

No comments:

Post a Comment