![]() |
Sumber: pixabay.com |
Cerpen Simarsayang,
Cinta Semarga telah dimuat pada Harian Medan Bisnis. Rubrik
Art & Culture. Minggu, 30 September 2012
***
Kau berlari dengan tergopoh-gopoh. Peluh keringat membasahi wajahmu yang
manis. Putih, bersih, dengan tubuh tinggi langsing. Sangat sempurna. Kau begitu
indah meski peluh membanjiri tubuhmu. Kau berdiri sambil berkacak pinggang di
samping sebuah gubuk kecil yang hanya muat diduduki maksimal tiga orang
manusia. Kau menghadap ke arah hamparan luas yang memperlihatkan kotamu, kotaku
juga. Kota Padangsidimpuan. Kota kecil yang terletak di Sumatera Utara. Luasnya
kurang lebih 114 km2. Rumah-rumah penduduk yang tidak beraturan
tampak begitu kecil, seperti kotak-kotak.
Napasmu naik
turun tidak beraturan. Matamu menatap hamparan Padangsidimpuan yang ditumbuhi
oleh banyak pohon kelapa dengan nanar. Kau terus menebar pandang dengan jelaja
retinamu yang indah. Kadang-kadang kau berbalik dan berjalan ke arah yang lain
dengan napas yang masih berderu dengan cepat. Kau terus menebar jejaring pandangmu. Tak peduli hingga berapa jam telah
kau habiskan waktu dengan berlari ke sana kemari. Tak peduli begitu luas Bukit
Simarsayang itu kau telusuri. Kau tetap bergerak ke sana kemari.
Akhir-akhir ini kau datang
hampir setiap hari. Dengan kondisi yang masih sama seperti hari-hari
sebelumnya. Apa kau mencari seseorang, Gadis Cantik? Oh Gadis Cantik, kadang
aku ingin berlari ke arahmu dan menanyakan kepada siapakah gerangan kau tujukan
kerlingan matamu yang hitam pekat itu.
Hari ini kau datang ke
bukit Simarsayang ini dengan balutan kaos berwarna merah yang dipadukan dengan
jeans panjang berwarna hitam. Sebuah jeket turut pula menempel di badanmu tanpa
kau kancingkan sehingga kaos berwarna merahmu masih bisa kulihat dengan jelas. Meski
di bukit ini sangat dingin, kau tetap selalu penuh dengan keringat. Oh, kali
ini ada satu yang berbeda. Kau amat sangat cantik. Ya, tidak salah lagi. Kau
begitu cantik hari ini. Rambutmu yang hitam panjang sepunggung tergerai dengan
sangat indah. Ah, aku baru tahu kalau kau memiliki rambut seindah itu. Sangat
berkilau apalagi di bawah sinar matahari.
Kau masih berlari ke sana
kemari. Mencari
seseorang. Ya, tidak salah lagi. Meski kau tidak melontarkan apa-apa, aku yakin
kau tengah mencari seseorang. Atau tengah menunggu seseorang yang tak jua
hadir.
“Andriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii….” Kau
berteriak kencang. Aku sampai terhuyung mendengar teriakanmu. Meski begitu, aku
menyukai nada suaramu yang penuh dengan ketegasan.
“Andriiiiiiiiiiii…. Di mana kau?” teriakmu lagi.
Air matamu menetes. Sangat
deras. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Matamu hanya berkaca-kaca. Kini kau
terjongkok sambil menenggelamkan wajahmu ke dalam kedua telapak tangan. Badanmu
terguncang dengan hebat. Tubuhmu yang kuat tiba-tiba terlihat sangat rapuh. Aku
ingin menjamahmu, ingin ikut merasakan kepedihanmu. Tapi aku tidak bisa. Ku lihat
kau masih menangis, tak peduli dengan orang-orang yang lewat dan melihatmu dengan
penuh keheranan. Ya, Bukit Simarsayang ini tak pernah sepi dari pengunjung.
Karena tempat ini salah satu tempat pariwisata yang dimiliki oleh warga
Padangsidimpuan.
Andri, siapa sebenarnya
lelaki yang membuat kau menangis? Aku berpikir keras untuk membuka file-file yang berhubungan dengan nama
lelaki itu. Butuh beberapa menit untuk mengingatnya hingga akhirnya memoriku
berhasil mencari data lelaki itu. Lalu muncullah slide-slide yang berhubungan dengan nama tersebut.
“Por rohakku di ho[1],
Desi.” Ucap seorang lelaki berparas rupawan kepada gadis di dahadapannya. Seorang
lelaki dengan tubuh atletis. Gadis itu, gadis yang kusebut sebagai Gadis
Cantik. Kau! Dia menatapnya dengan penuh ketulusan. Aku yakin kalau aku tidak
salah dalam mengartikan pandangan sendunya itu. Dan kau menundukkan wajah
malu-malu. Ah, ternyata kau juga merasakan hal yang sama dengan lelaki itu. Andri.
“Uboto do polo hita sikola dope, tai hagiotku, homa naron na manjadi
umak ni daganakku.[2]”
Kau mengangkat wajahmu
menggadapnya. Kau balas pandangan sendu Andri dengan pandangan yang
mengisyaratkan kasih sayang. Ya, kalian sama-sama mencintai. Simarsayang akan
menjadi bukti cinta dua sejoli remaja itu.
Meski kau tidak menjawab
isi hati Andri, tapi aku juga yakin kalau rasa yang ada dalam hatimu juga sudah
tersampaikan kepada Andri. Aku bisa melihat bahwa kalian selalu menunjukkan
wajah bahagia. Sejak hari di mana Andri menyatakan perasaannya kepadamu, kalian
kian sering datang ke Bukit ini. Pulang sekolah, atau kadang di hari Minggu
sambil lari-lari kecil bersama.
Kalian sangat bahagia. Aku
bisa merasakan hal itu.
Suatu hari kau mendatangi
Andri yang sudah menunggu sejak beberapa menit yang lalu. Mukamu menunjukkan
raut kesedihan.
“Mangua doho, Anggi[3]?”
tanya Andri dengan cemas.
Kau menundukkan wajahmu. Lalu kau menangis. Andri mengelus pundakmu pelan.
Ia tak berniat memintamu untuk bercerita. Sebab dia yakin cepat atau lambat, kau pasti
akan bercerita tentang masalah yang kau hadapi.
“Keluarga sudah mengetahui hubungan
kita. Mereka marah besar kepadaku, Andri. Mereka juga marah kepadamu. Mereka
tak ingin kita meneruskan hubungan ini.” Ujarmu dengan isak tangis yang makin
mengencang.
Raut wajah Andri tiba-tiba menegang. Sepertinya ada sesuatu yang mereka
sembunyikan. Aku memandang mereka dengan lekat.
“Harana
ita samarga[4]?”
tanya Andri pelan. Tenggorokannya seperti tercekat mengutarakan
hal itu.
Kau menganggukkan kepalamu pelan. Isak tangismu kembali mengencang. Andri
membawamu ke dalam dekapannya. Aku bisa melihat kalau ada ketakutan yang juga
terpancar di wajahnya meski ia berusaha untuk menutupinya darimu.
Oh, ternyata mereka berdua
mempunyai marga yang sama. Mereka berdua bermarga Lubis. Salah satu marga Batak
dari rumpun Mandailing. Dalam Batak memang tidak diizinkan untuk menikah dengan
orang yang bermarga sama. Pada tradisi suku Batak
seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika
ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain
marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka
dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan).
Andri
berusaha meyakinkan Desi kalau semua akan baik-baik saja.
“Tenang maho. Adong gok cara so tetap bisa
ita marsatu.[5]” Ucap Andri lirih. Tapi aku tahu sebenarnya
ia tak seyakin kalimat yang baru saja ia lontarkan.
Kau
mulai tersenyum. Kau sudah begitu yakin dengan pujaan hatimu itu. Kau menaruh
harapan besar kepada Andri. Lalu beberapa menit kemudian, Andri menyeka sisa
air mata yang membasahi wajah cantikmu itu.
Mereka
berdua saling berpandangan dan tertawa bersama. Seolah beban berat yang tadi
menyelusup hati mereka sudah sirna.
Ah,
mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu. Namun sudah berpikir dewasa
untuk kelangsungan hidup mereka nantinya. Sungguh, aku salut dengan pemuda yang
berpikir seperti itu.
Tiba-tiba
dua buah motor butut yang sepertinya biasa digunakan ke sawah berhenti tepat di
dekat mereka. Mereka menatap orang yang datang menghampiri mereka itu dengan
mata membulat. Sangat ketakutan sehingga mereka akhirnya berdiri dari duduknya.
Kedua tangan mereka berpengangan sangat erat.
“Apa
maksudmu tetap berduaan dengannya, Desi? Sudah kukatakan jangan berhubungan
dengannya lagi!” ibumu menatap Andri dengan tampangnya yang kejam.
“Ibu,
Desi mencintai Andri. Desi nggak bisa membohongi perasaan Desi sendiri.” Ujarmu
memelas. Ibu dan ayahmu geleng-geleng kepala dan hendak menarik tanganmu dari
Andri. Namun kau dengan tegas menolak dan berjalan mundur dari kedua orang tuamu
itu.
“Sudah
berapa kali kami katakan, Desi. Kalian semarga. Tidak bisa berhubungan!” kali
ini ayahmu yang bersuara.
Kau
geleng-geleng kepala dengan cepat.
“Desi
bisa ganti marga, Ayah. Ayolah Ayah, jangan persulit ini.” Pintamu sambil
mendekap jemari Andri semakin erat.
Kedua orang tua itu makin berang. Ayahmu juga menjelaskan kepada
Andri kalau tanpa berhubungan khusus pun keluarga kalian sudah berhubungan
karena semarga. Ibu Desi turut memarahi kalian karena begitu bodohnya sampai
tidak bisa mencari pasangan yang berbeda marga dengan kalian.
Lalu ayahmu menarikmu dengan
paksa sehingga akhirnya tanganmu terlepas dari genggaman tangan Andri. Kau menangis keras. Tapi mereka tidak perduli.
Kau masih menangis di boncengan ayahmu.
Sedang ibumu sudah melaju bersama supir yang mempunyai motor.
“Desiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii....
Tunggu aku tiga tahun lagi. Aku pasti menjemputmu dan semua akan baik-baik
sajaaaaaaaaaa! Kita bertemu di siniiiiiiiiiiii....” Andri berteriak dengan
kencang. Membuat beberapa pasang mata beralih kepadanya.
Kau
mengangguk pelan. Dan aku tahu kalau kau mempercayai pemuda itu. Ah, aku jadi
sangat penasaran dengan kisah kalian.
Sungguh, Batak memang tidak mengizinkan kedua insan semarga untuk
menikah. Meski mereka tidak pernah berkenalan sebelumnya. Meski ada beberapa
cara untuk menghalalkan adat itu, misalnya jika salah satu mereka harus rela
berganti marga. Namun melihat orang tua Desi yang sangat memengang kukuh adat
istiadat, aku jadi belum bisa menyimpulkan kisah cinta mereka.
Kemudian sejak
hari itu, tak pernah lagi aku melihat kedua batang hidung manusia tersebut.
Lalu hari ini aku
baru tersadar kalau Gadis Cantik yang selalu tampak gelisah di hadapanku adalah
dia, Desi. Gadis yang sudah bermetamorfosis menjadi seorang gadis yang sangat
cantik. Berparas jelita.
Oh, rupanya tiga
tahun sudah berlalu. Dan dia masih memegang teguh janji dari kekasihnya.
“Andriiiiiiii....
Kau di mana? Aku sudah menantimu selama berhari-hari di sini,” Kau terisak
sambil menyilangkan kedua tangan di dadamu. Kau berbicara kepada hamparan yang terbentang
luas di hadapamu.
Aku
ingin berlari. Menghampiri dan menguatkanmu yang tampak begitu lemah. Tapi aku
tidak bisa. Tetap tidak bisa.... Dari dulu hingga kini.
“Dek,
apakah kamu mencari lelaki yang bernama Andri?” tanya seseorang yang mendadak
muncul di belakangmu. Kau terkesiap lalu berbalik badan.
“Andri,
ya Andri. Apa Bapak tahu di mana dia sekarang?” tanyamu dengan suara sumringah.
“Dia...
sudah menikah. Minggu lalu dia datang kepada saya dan mengatakan bahwa Nak Desi
jangan menunggu dia lagi. Dia sudah bahagia dengan pilihan kedua orang tuanya.
Maaf saya baru bisa menyampaikannya hari ini.”
Tidak!
Jangan katakan hal yang membuatnya menjadi hancur. Jangan membuat hatinya semakin remuk. Dia tak bersalah. Dia gadis
cantik yang setia. Lelaki itu sudah berjanji kepadanya. Aku menjadi saksinya.
Tidak! Bukan hanya aku. Dia sudah berjanji di Bukit Simarsayang ini.
Kusaksikan awan pekat mengaburi pandanganmu.
Kau berjalan terhuyung, sambil sesekali menyeka air mata yang mengalir deras di
wajah indahmu.
Kamu mengambil keputusan yang salah, Andri. Kekasihmu telah berharap banyak kepadamu. Dan
kamu berhasil menghancurkan perasaannya. Tiga tahun lamanya kau membuat dia
menanti. Tiga tahun! Aku menjadi saksi. Aku, pohon pinus yang sudah tertancap
sejak dulu sebelum kalian melukiskan kisah cinta di Bukit Simarsayang ini.
[1]
Aku cinta kamu, Desi.
[2]
Aku tahu kalau kita masih sekolah, tapi harapanku, kaulah kelak yang akan
menjadi ibu dari anak-anakku.
[3]
Kamu kenapa, Adik?
[4]
Karena kita semarga?
[5]
Kamu yang tenang ya. Ada banyak cara supaya kita tetap bisa bersatu.
[6]
Ibu
[7] Paman, aku berjanji kalau aku akan
membahagiakan, Desi.
[8] Jangan sampai aku melihat kalian lagi
bersama-sama!
0 Comments