Cerpen Eva
Riyanty Lubis, dimuat pada Medan Bisnis rubrik Art & Culture. Minggu, 29 Juli 2012
Aku meringkuk kedinginan di balik ruangan berukuran 2x2
meter itu. Di sudut ruangan itu, kudekapkan kaki ke tubuhku yang tinggal
terbungkus tulang. Erat. Tetapi tubuhku tetap berpeluh. Menggigil. Aku berusaha
membendungnya, bersikap biasa, namun semua bagian tubuhku tidak mau
berkompromi. Tetap bergetar hebat.
*
Aku memandang mata bening itu beberapa saat. Berusaha
mencerna kata demi kata yang keluar dari bibir mungilnya. Wajahnya merona merah
tatkala menceritakan hal itu kepadaku. Dan bisa kupastikan, dia sedang
mengalami masa-masa bahagia.
“Kamu setuju kan, Sayang?”
Aku masih terdiam. Atau lebih tepatnya mulutku lah yang
enggan untuk berkomentar. Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong.
Aku mencintainya dengan sangat. Tapi aku yakin, dia tidak
merasakan itu. Ah… ataukah aku yang tidak merasakan cintanya kepadaku?
Setahuku, cinta anak dan ibu amatlah erat. Namun, kini aku merasa ada benteng
pemisah di antara kami. Ataukah kami sendiri yang membuat benteng itu, aku tidak
tahu.
Aku merasa pusing setiap kali memikirkan kehidupan kami.
Menurutku, kehidupan kami ini kehidupan tanpa cinta. Membosankan. Dan lambat
laun, aku merasa malas untuk menghadapinya. Aku merasa hidup ini hanyalah
pengulangan. Hari demi hari, tanpa ada yang spesial. Sangat membosankan…. Apa
masih bisa aku berharap?
“Sayang, kamu dengerin Ibu nggak sih? Kok dari tadi cuma
natapin Ibu aja? Kamu nggak setuju?” matanya mengerling menatapku.
Aku menggeleng. Kemudian kudapati senyum manis bertengger
di sudut bibir mungilnya. Ah…. Kapan terakhir kali aku memandanganya sebahagia
ini? Aku bagitu merindukan masa-masa itu. Dan tidaklah mungkin aku merusak
kebagiaan orang yang telah melahirkanku.
“Makasih ya, Sayang. Beberapa hari lagi Ibu dengan Om
Asrul akan mengadakan pernikahan. Kita buat acara yang sederhana. Maaf kalau
ini mengagetkanmu. Namun kita berdua sudah memutuskan kalau inilah yang terbaik
untuk kita. Bukankah kamu juga masih menginginkan sosok seorang ayah?”
Lagi-lagi aku mengangguk. Aku sudah tidak ingat bagaimana
cara untuk berbicara banyak dengannya. Yang kuinginkan adalah segera mengakhiri
pembicaraan ini dan kemudian aku bisa terlelap dalam mimpi indahku.
*
Saya
terima nikahnya dan kawinnya Nur Rizka binti Muhammad dengan mas kawin tersebut
tunai.
Di
mesjid itu, para undangan menjadi saksi lahirnya pasangan pengantin baru. Semua
tampak berhagia. Kecuali aku mungkin.
“Kamu
Icha kan? Putrinya Bunda Rizka? Aku akan menjadi kakakmu. Kalian akan tinggal
di rumah kami. Oh ya, namaku Yunita. Kami boleh memanggilku dengan sebutan
Yuni. Ah…. Pasti Bunda sudah menceritakan tentangku kepadamu kan, Cha?” gadis
manis itu menyodorkan tangannya kepadaku. Aku hanya terpaku. Tak tahu apa aku
harus menerima uluran tangannya. Namun beberapa detik kemudian, dialah yang
menarik tanganku ke dalam jemarinya.
Senyumnya
sangatlah manis. Parasnya membuat orang yang memandangnya langsung tertarik.
Matanya bulat, dengan bola mata berwarna coklat bening. Alisnya hitam lebat.
Hidunganya bangir. Kulitnya putih bersih. Wanginya mengeluarkan semerbak yang
membuatku betah ada di sampingnya. Namun entah mengapa, aku tidak ingin
mengakui hal itu. Atau malah aku sedikit cemburu kepadanya?
“Icha
kalau perlu apa-apa, bilang sama kakak ya,” ucapnya sebelum meninggalkanku
dengan memberikan kerlingan manis kepadaku. Dan beberapa meter dari sini, aku
lihat dia tengah menyambut kedatangan teman-temannya. Mereka tampak sangat
bahagia. Dan dia begitu kelihatan spesial di antara orang-orang itu.
“Kamu
adenya Yuni?” seseorang tiba-tiba mengagetkanku. “Ah… kenapa jantungku berdetak menjadi tidak karuan begini? Dag dig dug.
Detakannya semakin keras. Apa dia mendengarnya? Ah…. Pasti sangat memalukan.”
“Boleh
kenalan?” tanyanya. Aku hanya menundukkan wajahku. Berusaha menutupi rona merah
yang kurasakan telah timbul di wajahku.
“Icha?”
dia memanggilku. Aku bergeming. Lalu dengan langkah cepat, aku berlari
meninggalkannya. Aku sudah tidak perduli dengan tanggapannya tentangku.
*
Hari ini hari penerimaan rapor. Orang tua diwajibkan untuk ikut.
“Icha,
Ibu sama Ayah mau ke sekolah Yuni dulu. Nanti habis dari situ kami akan datang
ke sekolah Icha. Nggak apa-apa kan, Sayang?”
Aku
menatap mereka dengan tatapan tak menentu. Namun, aku anggukan juga kepalaku.
Setelah itu aku mendapati senyuman dari keduanya.
Aku
menunggu Ibu dan Ayah. Sampai hanya aku yang tertinggal di dalam kelas,
mereka tak jua datang. Air mataku hendak luruh. Namun segera kutahan, agar tak
jatuh.
“Icha, Mamanya nggak bisa datang ya,
Sayang?” ucap Bu Fatimah. Guruku
yang baik hati.
Aku
mengangguk sambil tersenyum. Aku tahu dia bisa melihat bahwa senyumanku
hanyalah sebuah senyum terpaksa.
“Hm….
Yaudah, nggak apa-apa. Ini rapor kamu.” Dia menyodorkan rapor berwarna abu-abu
itu kepadaku.
“Nilaimu terus menerus menurun, Cha. Bahkan sepuluh besar
pun kamu tidak masuk. Ibu nggak tahu apa masalah yang sedang menimpamu. Namun
Ibu harap, kamu harus mengerjar semua ketinggalanmu. Sekarang kamu kelas dua
SMA, Cha. Tugas akan semakin banyak.”
Aku
kembali mengangguk.
*
Di
rumah
“Icha, aduh maaf ya, Sayang. Ibu dan Ayah tidak bisa datang. Tadi kita bertiga lagi
merayakan keberhasilan kakakmu. Yuni berhasil meraih juara umum satu di
sekolahnya. Kami hendak menjemputmu, namun kita nggak punya waktu banyak,
soalnya Ayah mau berangkat ke luar kota.” Ibu tampak menunjukkan wajah penuh
penyesalan kepadaku.
“Nggak
apa-apa,” ucapku sembari berjalan meninggalkan Ibu dan Yuni di ruang tamu.
“Apa
Icha marah, Bunda?” tanya Yuni.
“Tidak,
Yuni. Icha memang begitu orangnya. Pendiam.”
*
“Mana boneka
beruangku?” tanyaku pada ibu dan Yuni yang tengah duduk berdua menonton
televisi. Ah…. Andaikan ibu tahu, aku juga merindukan saat-saat berdua
dengannya. Namun kenapa malah Yuni yang selalu ada bersamanya? Kenapa mereka
tidak pernah mengajakku untuk bergabung? Kenapa hanya Yuni yang dielus
rambutnya? Suasana hatiku mendadak panas.
“Oh,
dipinjam ama Yuni, Cha. Dia suka. Jadi Ibu izinkan dia mengambilnya dari
kamarmu.”
“Tidak
ada yang boleh menyentuh bonekaku!!!!” aku membentak mereka. Kulihat mereka
terkejut.
“Ambil bonekaku sekarang!” aku
menatap tajam ke arah Yuni.
“Kamu apa-apaan sih, Cha? Kan cuma boneka! Lagian
bonekanya kan sudah jelek,” jawab ibu.
“Tapi
kalian tidak punya hak untuk mengambilnya. Kalian boleh mengambil semua barang
yang ada di kamarku. Tapi bukan dengan boneka itu! Sekarang cepat ambil
bonekaku!”
Yuni langsung berlari menuju
kamarnya. Mungkin dia kaget dengan ucapanku barusan.
*
Aku mencekik lehernya. Kuat. Dia
merintih. Berusaha melepaskan diri. Namun tak ada sedikit celah yang kuberikan
kepadanya. Kembali dia mengerang. Nafasnya terpenggal-penggal.
“Ichaaaaaaaaa.... Lepaskan kakakmu!
Lepaskan!!!” Ibu dan Ayah muncul di belakangku dan berusaha melepaskanku dari
tubuh Yuni.
Aku terpelanting. Tenaga ayah jauh lebih kuat dariku. Aku
diseret menuju sebuah tempat yang membuatku bergidik ngeri. Sedang sebuah
ambulans melaju hebat membawa Yuni beserta ibu.
Dan di
sinilah aku kini.
*
Tepat
sebulan, aku keluar dari balik jeruji besi itu. Ayah penguasa di sini. Dan
katanya dia sudah bermurah hati dengan memberiku hukuman hanya sebulan.
“Kau
sudah membuatku malu! Kau mencoreng mukaku, Cha! Anak macam apa itu namanya?”
Aku
menatapnya tajam. Dia juga memandangku dengan emosi yang meluap-luap. Dia,
anaknya serta ibuku. Mereka memandangku dengan sinis. Seakan-akan aku merupakan
seonggok najis.
“Minta
maaf pada Ayahmu, Cha!” Ibu ikut membentakku.
Aku menatap mereka berang.
Seharusnya mereka tahu, aku juga butuh perhatian. Aku butuh kasih sayang. Sejak
ayah meninggal lima tahun lalu, aku tidak pernah lagi mendapatkan kasih
sayang. Ibu hanya sibuk dengan usahanya.
Ketika kutahu dia ingin menikah, sebenarnya hatiku sakit.
Tapi aku masih berharap mendapat kasih sayang darinya. Mungkin dengan kehadiran ayah baru, dia tidak lagi sibuk mencari uang dan bisa berbagi
denganku.
Namun
aku salah. Posisiku telah diambil oleh Yuni. Bahkan ibu menuruti semua
keinginannya. Boneka beruangku, hadiah terakhir dari ayah, dengan entengnya ibu
mengizinkan Yuni untuk menyentuh serta memilikinya.
*
Sore
itu, ibu dan Yuni sedang asyik bercanda gurau. Aku mendatangi mereka. Dan
kulihat mereka memandang sinis kepadaku. Lalu Yuni berdiri dari duduknya dan
kemudian menghampiriku. Sedang Ibu membuang mukanya.
“Kau
sudah tidak diinginkan di sini, adek manis!”
Kalimatnya
itu membuatku semakin membencinya. Aku terus menatapnya tak berkedip. Dia balas
menatapku, dengan seringainya yang menurutku menjijikkan. Keindahan fisiknya
sangat bertentangan dengan perangainya.
Dan
beberapa detik kemudian dia jatuh tersungkur. Merintih dan menatapku ketakutan.
Senyum kemenangan telah menghampiriku. Sebab pisau yang
kuselipkan di balik tanganku berhasil melakukan pekerjaannya seperti yang
kuperintahkan.
0 Comments